[^__^] Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh [^__^]

Selasa, 28 Februari 2017

Ratap perpecahan dalam tubuh kenyataan


   Malam menghening menuju pagi, mendekap naluri akan pesonanya yang memikat jiwa. Lelah dan semua penat, menempati pusara. Terlelap hingga gaduh terbangun kembali.

   "Namun apa yang hendak dilaku?" Kau kembali tersenyum, selalu saja bertanya disaat ku menikmati saat seperti ini.

   "Tolong, biarkan aku sejenak merebah. Semoga di lain kesempatan, kau dapati ku dapat menjawabnya" aku coba berpaling dari matanya, tapi sia sia.

   "Tidakkah kau dapat sejenak tenang mensyukurinya?" Kau kembali mengusik, serta merta suara begitu jelas menghujam pendengaran. Dan aku hanya dapat memaksa menahan laju pandangmu yang tak tertutup pejam mata, tapi tetap sia-sia.

"Kau tahu, aku selalu inginkan begitu" Aku menyerah, tidak dapat mengelak.

"Lalu, apa yang hendak dilaku?" Kembali kau menoreh sembilu, seperti sebelumnya.

"Entahlah!" Aku menyerah, memuntahkan semua emosi yang kujaga sedari tadi.

"Bukankah kau menunggu saat seperti ini untuk berbicara denganku? Lalu kanapa kau marah padaku?" Ia kulihat terpekur, kita sama menemukan satu titik yang sama. Bingung, tertahan di ruang dan waktu yang terus berlari.

"Bodoh, harusnya kita selalu ingat; sesama hasil ciptaan tidak berdaya menepuk hancur yang menjadi tujuannya.

"Jadi sekarang apa yang akan dilaku?" Kulihat kini pandangmu menatap lurus kedepan, namun tidak bersepang lama, perlahan turun menukik pijakan.

"Itulah, kau terus menyiksaku. Terus bertanya apa yang dapat kulakukan tanpa memberiku suatu tujuan" Aku ikut menatap apa yang sedang kau tatapi.

"Tapi bukankah kita punya satu keinginan yang sama?" Aku kira kau berkata dengan memeriksa air muka ku, ternyata kau memilih tetap menatap ke bawah.

"Apa?" Aku menoleh seketika, tapi kau tidak peduli, kau masih saja terpekur menatap ke tanah.

"Bahagia?" Kau terperangah, seketika mengangkat wajah.

"Awalnya begitu, namun nalarku kembali bertanya; bahagia untuk apa?" Seketika tumpuanku lemah, kata yang kian lama terpendam akhirnya ia kembali dapati.

"Itulah tujuanmu, kau kini terobsesi memhami bahagia. Disaat ku sangka kau tengah melangkah menjalani jalur-jalurnya" Kau ikut terduduk bersamaku, kini kita hanya dapat menghela nafas. Menyandar berdua pada heningnya, pada malam waktu.

"Lalu kenapa kau terus menemaniku? Kini ku dapati matamu tengah menatapku, teduh namun ku balasi penuh kewaspadaan.

"Karena aku sebatas kakimu, sedang kau nyatanya mataku. Kebersamaan ini, adalah satu bukti kesepakatan kita dengan Sang Raja, disaat kita belum dipersatukan. Dan kini, saat ini, kita telah dipersatukan dalam satu kenyataan" seketika kau merintih, membuat ku tak kuasa menepis malang yang membayang.

Kini nyatanya kita adalah sebatas kita; yang hanya dapat merintih dan menangis, hingga pagi berpendar, kembali memaksa untuk terus berlari.

"Cukupkah hanya sebatas kita?" Akhirnya kita kembali bersepakat dalam satu bahasa yang sama. Terperangah, mengangkat muka.

#jejak_para_kekasih

Belai Hujan Akhir Malam



"Hey bangun.." Kurasakan sentuhan halus menjalar dari pipi hingga dagu, lalu mengusap ke kening dan wajah seluruhnya.

"Shalat.."Sekarang wajahmu terlihat tersenyum, coba terus membangunkanku.

Kutersadar seketika, hujan lirih bergemuruh menimpa atap rumah. Jelas terdengar di heningnya sepertiga malam, bersahutan bersamapara pejuang shubuh yang terbiasa melantunkan ayat ayat-Nya sebelum adzan shubuh dikumandangkan.

"Terima kasih"Aku menyambutmu dengan sebuah pelukan. Kaupun tersenyum begitu manis, memperhatikanku begitu lekat. Mata kita begitu dekat, saling menyelami pribadi yang terangkum di dalamnya.

"Tapi kenapa masih berdiam diri?" Kulihat seketika, wajahmu berkata tidak mengerti meski sangat ingin. Sekali lagi ku hanya dapat tersenyum, begitu lucunya kau kulihat. Dengan wajah secantik itu, rasanya lebih berwarna melihatmu disaat bingung. Bahkan perubahan air muka lainnyapun hanya akan menambahmu makin cantik, entah itu takut atau marah sekalipun.

"Apa masih saja kau memikirkan hal aneh itu?" kau masih saja terus bertanya, meski ku tetap terdiam. Bahkan kini matamu kulihat lebih besar memandangku, heran.

"Tidak habis dibuatnya, seakan semua bersatu hendak membuatku tersudut. Bila saja boleh, aku ingin terus tertidur. Kau tahu? aku melihat suatu alam yang sederhana disana, sangat sederhana dimana disana ku hanya melihatdan mendengar. Meski sering tidak mengerti alurnya, meski kelabu. Namun sungguh sangat sederhana, karena rasanya tidak kurasakan bingung ataupun tersudut" Aku coba menjelaskan, kini pandangmu mengendur seperti biasanya. Tetap saja kau tidak mengerti, lalu serta merta memunculkan sebentuk wajah penuh kasih untuk menutupi segala resah yang kau lihat dariku.

"Lalu?" Kembali kau bertanya, kali ini arahmu berubah, sekarang nampak kau hanya ingin mengoral waktu guna mengendurkan suasana hatiku yang bingung.

"Aku lelah, sungguh lelah.." -
"Tidakkah kau pun lelah menemaniku?" Ku coba memeriksa wajahmu, dan tidak nampak perubahan diwajahmu. Tetap saja teduh, dan anggun.

"Bagaimana bisa lelah? Bukankah ada cinta yang memberi tenaga lebih?" Kau kembali terheran, berusaha menutupi sedikit kecewa.

“Kau benar sayang,.. Namun kurasa cinta kita belum menemukan titik akhir yang menentramkan”
“Kemana kan ku bawa segala nikmat cinta kita? Akankah kita biarkan begitu saja tanpa memikirkan muaranya? Sungguh aku tak ingin berakhir tragis seperti Romeo dan Juliet” Aku bersungguh hati menatapmu, namun kini kau hanya ikut termenung.

“Sebenarnya, sejak kapan kau berpikiran seperti itu? Bukankah sebelum kita bersatu, penyatuan seperti sekarang adalah yang utama? Hinga kita lewati masa begitu panjang untuk dapat seperti sekarang ini?” Kembali kudapati sorot mata lentikmu menajam.

“Ya, namun setelah kita bersatu.. kita hendak kemana lagi?!” Emosi seketika meletup, -
“Sungguh hal itu terus mengusik pikiranku selama ini. Kenyataan kini seakan tersu memaksa untuk segera menemukan jawab dari satu pertanyaan itu” Matamu kini makin kosong, namun terus saja gejolak jiwa ini memaksa bibirku mengatakan semua.
“kenyataan itu adalah, bahwa kita tidak selalu akan hidup didunia. Dan memang kehidupan ini sebatas dunia, alangkah singkatnya kisah cinta kita. Sungguh begitu singkatnya..” Aku menyesalkan,
“Lalu, kemana akhirnya indahnya kisah cinta ini?” Kuulangi lagi pertanyaan yang kerap membuatku enggan terjaga, ingin terus bermimpi. Karena mimpi, kurasakan tidak berwaktu dan akan terhenti. Namun tidak terdiam seperti kita saat ini

#jejak_para_kekasih

Jumat, 24 Februari 2017

Senja Bersama Angin-Nya

...
   Anak bunga dendalion terbang berarak menunggangi semilir angin sore ini, ceria bertelekan tawa, riang bermandikan mentari senja yang merona dari kesilapan mata akan cahaya.

   Bermula dari satu bunga yang sama, akhirnya anak dendalion itu terpisahkan juga, karena kini angin senja mengaburkan kebersamaan dengan sifatnya yang senantiasa mengejar hawa panas pada setiap ruang yang terisi udara.

   "Melawan ketetapan, bagai anak-anak dendalion itu, sebatas jiwa yang dapat melawan, namun akhirnya jasad tiada daya terseret sekendak hembusan angin" Aku coba melerai sendu, meski sebenarnya ucapan itu lebih menegaskan diriku sendiri.

   "Lalu apa salah, bila air mata ini tertumpah? Bila mampu, sungguh ingin semuanya tertumpah diatas sajadah disepertiga malam yang sering kau ucapkan" Kali ini kau menyela. Dan aku mengerti, kau tengah berusaha tetap kuat, ingin tetap terlihat kuat, sedikitpun tidak ingin dikasihani.

   "Maaf. Aku memang tidak seperti yang kau harap, tidak sebagaimana yang kau rindukan" Tangismu mulai nyata, sesenggukan ikut menyenggal nafas, berat bergemuruh hingga kata sedikit keruh ku dengar.

   "Hey, ada apa denganmu?" Seketika dadaku ikut terguncang,

   "Salahkan dengan kisah anak dendalion yang terburai angin senja ini?" Aku segera merengkuh pundakmu, berusaha meredakan tangis.

   "Jangan kau kira bagaimana peka seorang wanita yang lebih dari sepuluh tahun ini menemanimu. Aku sangat hafal, kau menyesali akan sikapku saat itu, hingga kalian terpisah dengan terpaksa, bahkan sebelum tujuan mulai meniti langkah" tangismu mereda, seketika terganti penegasan lainnyang menghuni rongga dadamu.

   "Sudahlah, semua sudah terjadi. Dan kejadian ini sebenarnya menyadarkanku, bagaimana tulusnya kasih sayangmu. Kau rela tersalahkan karena mengingat peluang kami menuju neraka terbuka lebar" Ku ingin segera membenarkan, sangat setuju.

   "Mengertikah, sebenarnya aku hanya menyesali keburukanku sendiri, yang begitu mudahnya muncul. Dan syukurku adalah dinampakan dengan perantaraanmu. Kau tahu? Itulah pakaian sesungguhnya, yang rapat menutupi aurat dan semua aibku"-

   "Terima kasih" Aku lihat kau makin cantik, seiring kulihat keburukanku sendiri yang kembali membayang.

   Dan kini, akhirnya kita lihat beberapa dari anak dendalion yang terhempas angin mulai membumi, tumbuh mendewasa, dan bersiap menerbangkan banyak anak anak keangkasa.

   "Segala puja dan puji memang selayaknya hanya bagi Alloh, yang Mengatur, Mengurus dan Mempersiapkan untuk ciptaanNya dengan Maha Bijaksana" Kaupun kini tersenyum begitu manis, hingga mentari malu lalu tenggelam karena iri padaku yang telah Sang Penyayang pasangkan denganmu.

   Dan spenuhnya aku menyadari, bagaimana kita berkewajiban untuk senantiasa bersyukur dan menyungkur meminta ampun pada Ia Yang Maha lembut mengatur semua ini.

#jejak_para_kekasih
_Bdg_24022017

Kamis, 23 Februari 2017

sebatas ranting

#sebatas ranting yang mengantarkan pada Raja para kekasih
_---------------------------------------------------------------------_
   Hingga detik ini, masih tetap ku ingat, bagaimana kau berkata. Kata yang awalnya tidak ku mengerti, kata-kata yang seketika memancing amarah karena kau berkata-kata ketika kurasakan peliknya kehidupan. Namun ternyata, itu jalan keluar mesti ku jalani untuk membenahi semuanya.

  "Apa ini?" katamu menunjukan sebatang ranting, lalu mengambilnya dan didekatkan hingga hampir menusuk pandanganku.

 " Ranting ?" Aku jawab seketika, heran.

  "Mereka, orang kafir juga sama. Mereka pasti akan jawab begitu" Kau tidak menjawab apa yang ku herankan, bahkan kini kau tambahkan bingung setelah sebelumnya membuatku heran.

  "Maksudnya?!" Seketika kekesalan memburu, namun kau hanya tersenyum.

   "Kalo ini apa?" Kau bukannya menjawab dan malah bertanya lagi, kali ini telunjukmu mengarah pada sebuah cangkir.

   "Orang kafirpun sama, mereka akan berkata begitu" Kau terkekeh, melihat ku dengan enteng.

   "Lalu meski ku jawab apa? Kolam air hah?" Emosi tidak dapat lagi ku bendung, meledak begitu saja. Tapi kau masih saja tertawa, raut muka mengejek yang membuatku muak.

   "Satu lagi," Katamu tetap tersenyum.

    " kalo itu apa?" Kali ini kau menunjuk pada bangunan didepan, sebuah mesjid yang sederhana.

   "Itu mesjid, untuk beribadah shalat lima waktu" Kataku, meski muak anehnya masih saja diri ini penasaran. Bagaimana maksudmu sebenarnya.

   "Anak kecil aj tau haha, tapi mending agak sekarang jawabanmu" Kamu tersenyum,

   "Heh, maksudnya apa sih? Tapi kafir, sekarang anak kecil?!" Aku meledak seketika, namun ia tetap santai, seakan wajar saja dengan reaksiku.

   "Bujang, ingatkah bagaimana sifat para malaikat yang senantiasa mensucikan Alloh? Dalam setiap ucap dan langkahnya? " Katamu serius, melihatmu seperti itu emosiku mereda. Teringat kembali bagaimana kau menjelaskan sifat-sifat malaikat.

   "Ya, lantas?" Aku jawab singkat.

    "Lalu bagaimana, hingga saat malaikat bertanya segala sesuatu pada Adam hingga mereka bersujud? Hingga seketika malaikat menyadari, akan kebesaran Alloh. Padahal sebelum Adam dicipta mereka sempat bertanya 'Ya Rabb, apakah Engkau akan menciptakan manusia yang akan menumpahkan darah dimuka bumi?'"

   "Bagaimana mungkin? Malaikat yang ditugasi ikut memelihara segala perbendaharaan ciptaan Alloh, termasuk juga bumi bertanya akan suatu hal, lalu Adam menjawab sebagaimana yang diajarkan Alloh, lalu mengertilah mereka. Bahwa Alloh hendak menciptakan manusia yang bukan malaikat itu terkandung suatu kehendak agung yang jauh diatas kecerdasan malaikat, dan jauh lebih besar dari tasbih tasbih malaikat?"

   "Apabila ditanya yang menunjuk pada sebuah ranting? Maka hambaNya yang selalu ingat padanya akan menjawab, ini adalah kayu yang Alloh ciptakan yang dengannya menjadi sarana untuk beribadah hanya padaNya, karena memang selayaknyalah hanya Ia diibadahi. Yang dengan begitu seorang Abdi-Nya akan mempergunakan sebatang ranting itu dengan bijak semata mata mengharap Alloh saja yang ia ridhai menjadi sesembahan dalam hatinya"

   "Lalu saat ada yang bertanya perihal cangkir, kenapa tidak kau jadikan saja sebagai tasbih padaNya, hingga kau jawab; bahwa itu adalah tanah liat yang dibentuk dan dibakar dengan ilmu dariNya. Yang dengan cangkir itu Alloh memberi ilmu yang lain seperti ilmu memuliakan tamu untuk persaudaraan Islami, yang dengan ukhuwah itu Alloh ajarkan lagi managemen organisasi kemasyarakat, hingga terbentuk ilmu ketatanegaraan yang baik dan adil hingga ilmu itu menjadi kebaikan semesta. Apa ia manusia yang memahaminya, yang menerangkan dan yang diterangkan itu akan menyianyiakan cangkir tersebut sebatas menyuguhi syahwat hausnya?"

   "Ingat lagi, katanya malaikat mengurus hingga sel sel terkecil dengan sifatnya yang selalu mensucikan Alloh Yang Maha Suci. Tapi setelah Adam menjelaskan apa yang diketahui perihal benda benda, malaikatpun menghormati akan eksistensi Adam. Karena malaikat tidak diberi pilihan kreatifitas, sedang manusia diberi. Hingga dari sebatang kayu manusia dapat beribadah padanya beribu-ribu macam karena kecerdasanya. Hanya saja kreatifitas itu juga bisa jadi beribu-ribu pengingkaran bila tidak beribadah padaNya. Dan itu membuat derajat manusia lebih rendah dari hewan sekalipun.

   "Disitulah, akal menjadi syarat beribadah. Maka jadikanlah segala pening pelik itu sesuatu yang bernilai ibadah. Bukan membuat kita melajur nafsu amarah, hingga para pengikut iblish asyik saja bermain-main apinya. Karena yang kurang akal tidak Alloh wajibkan untuk beribadah."

   "Seperti itu.." telunjukmu kali ini menunjuk orang gila yang tersenyum sendiri sambil telanjang.

   "Atau dia" lalu telunjukmu mengarah pada balita yang tengah asyik bermain lumpur"

   "Nah, sekarang tahu kan bagaimana caranya terbebas dari beribadah padanya? Haha!" kau tertawa lepas, menyaksikankanku tersudut malu.

   "Karena ibadah itu lillah, dan kebaikan belum tentu jadi ibadah. Sedang ibadah pasti jadi baik hasilnya"

   "Dengarlah Sang Kekasih bersabda; barang siapa yang dunia tujuannya, puncak cita-cita maka Alloh akan cerai-beraikan urusannya, dan kefakiran akan dinampakan didepan matanya, dan dunia tidak akan datang melainkan sebatas apa yang Alloh tuliskan padanya. Barang siapa yang akhirat tujuannya, maka Alloh akan satukan urusannya, dan Alloh jadikan kecukupan dalam hatinya, dan dunia akan datang meski ia tidak mengharap"

   "Barang siapa yang bertaqwa kepada Alloh, maka akan Ia beri jalan keluar dari setiap masalahnya, dan akan diberi rizky dari arah yang tidak ia sangka-sangka"

   "Dan ku ingin, segala obrolan kita jadi bukti ibadah. Maukah? " kau kini berhenti tertawa, menatap tajam. Hingga kenyaplah segala pening segala urusan keksusahan hidup.

#jejak_para_kekasih

Sabtu, 18 Februari 2017

Siapalah Aku ?

#Siapalah Aku?

 “Hey bukankah kita baik-baik saja?” Ku coba berkelakar, demi melihatmu terlihat pucat akhir-akhir ini. Tapi kau hanya terdiam, berpaling. Tidak lagi menyambut dengan senyum ceria yang biasa kulihat indah dan langka seperti biasanya.

 Aku coba sedikit mendekat, meski agak sedikit kikuk. Seakan ada sesak seketika, melihatmu makin lesu. Badanmu pun nampak makin kurus setelah terakhir kita bertemu, ‘moga tidak separah yang ku kira, hatiku berdoa sendiri, masih tetap memeriksa wajahmu. Dada kita menghela berat, menyaksikan kejadian yang rumit hanya karena perasaan tidak terduga telah tumbuh, dan salahnya kita tidak segera membunuhnya sedari awal.

 “Maaf, saat itu semestinya tidak terjadi. Emosi meledak begitu saja. Kakak salah paham dan khilaf..” Aku coba meminta maaf, namun hanya mendapatimu tersenyum lemah,

“Nggak papa kak, sayapun akan berbuat sama saat diposisi kakak” Bisikmu pelan -
 “Wanita mana yang rela berbagi kekasih?”Masih dengan berbisik kau menjelaskan. Wajahmu baru nampak menoleh menatapku, tatap tajam memaksaku mengerti akan luka dalam hati yang tidak dapat lagi terkata-kata.

 “Sekali lagi maaf.. Kakak hanya ingin memastikan semuanya aman” Ku coba kembali menegaskan.

 “Iya Kak, Saya mengerti. Maaf saya masih ada urusan..” Kini kau tersenyum, namun air muka itu tidak sedikitpun terlihat benar-benar merelakannya

 “ Saya pamit” Hingga kau berlalu dengan tergesa, sementara aku merasa menjadi pihak yang paling merasa bersalah. Sejahat Rahwana yang memisahkan Rama dan Sinta yang saling mencintai. Tapi biarlah.

‘Aku memang tidak kuasa memaksa jiwa, sebagaimana kuasa Sang Pencipa membolak-balik hati setiap insan. Hanya saja tidak ada cinta yang suci sebelum halal, sebelum semua makin terluka, sebelum semua makin terhina. Ku tegaskan bahwa diri ini sebatas menyayangi kekasih halalnya, kekasih yang telah diridhoi-Nya untuk berlayar bersama dilautan ketentuan-Nya’-
‘Bukan cinta yang membuat kalian saling mengelak, karena menyadari sepenuhnya akan Pandangan-Nya Yang Maha Melihat bahkan hingga ke palung hati.’ Hatiku terus berteriak sebatas hati, menyaksikanmu yang makin menjauh.

‘Dik, Kakak mengerti bagaimana pedihnya perasaanmu saat ini. Kita merasakan pedih yang sama sebagai seorang wanita. Dan kita kerap lupa bagaimana lelaki berpikir sangat sederhana tentang semua ini. Ya, mereka semua sederhana’

#jejak_para_kekasih
_19022017

Sebatas Logika Matrealis Boby

#Logika Boby

 “Assalamualaikum ..” Basyir mengucap salam sambil meraih tangan renta Kyai, sungkem. Sebelumnya ia meletakan seikat Ketela Pohon, sebagi buah tangan pada Guru yang mengajarinya membaca dengan percuma.

 “Waalaikum salam” Kyai membalas salam, sambil menyalami Basyir,

 “Ini Pak Kyai, Cuma mau mengantarkan sedikit Ketela”Tanpa basa basi, Basyir mendekatkan buah tangan yang dibawanya kepada Kyai.

“Jazakumulloh khoiron katsiron.. Makasih ya” Pak Kyai menerima dengan senang.

“Aamiin.. “—
“Kalo begitu saya pamit pulang Pak Kyai” Basyir segera meneruskan, karena tidak ingin mengganggu waktu gurunya, ia segera pamit.

“Lho kok buru-buru?” Pak Kyai menahan

“Iya, Basyir datang hanya hendak menyerahkan Ketela saja.” Basyir segera menyalami gurunya,

“Tunggu, sebentar” Pak Kyai segera berlalu ke samping rumah, dengan membawa Ketela yang dibawa Basyir. Lalu ia kembali dengan menuntun seekor anak Domba yang baru disapih.

“Ambil ya. Coba rawat, siapa tahu nanti besar dan beranak pinak ” Pak Kyai menyerahkan tali kekang anak Domba betina pada Basyir.

Basyir kaget tidak menyangka Pak Kyai memberinya seekor anak domba betina. Saking harunya pada kemurahan Kyai, ia pun tidak bisa berkata-kata lagi selain berterima kasih. Lalu Basyir sungkem kembali dan berlalu.

Diperjalanan menuju rumah, Basyir berpapasan dengan Boby. Dengan berseri-seri Basyir menyalami teman mengajinya dan mengucap salam.

Namun boby heran, melihat Basyir menuntun, karena setahunya Basyir tidak memelihara Domba.

“Dari mana Syir ?” Boby basa basi, matanya memperhatikan tangan Basyir menuntun anak Domba.

“Baru dari Pak Kyai, mengantarkan Ketela untuk beliau..” Basyir menjawab singkat berseri

“Oh,, nah itu anak Domba ?” Boby tidak bisa membendung rasa penasarannya

“Oh ya, ini dikasih Pak Kyai” Timpal Basyir, Boby pun hanya bengong.

Setelah Basyir berlalu, Boby jadi kepikiran dengan keberuntungan yang Basyir terima. Iapun menyadari, Pak Kyai memang pemurah pada setiap orang. Pak Kyai memang biasa ngasih buah tangan pada siapa saja yang bertamu.

‘Basyir saja yang ngasih seikat ketela, dibalas Pak Kyai dengan anak Domba. Apalagi kalo ngasih yang lebih dari itu ya?’ Hati Boby bebisik, lalu seketika ia pun teringat akan seekor Domba betina dewasa yang tengah bunting di rumahnya.

Seketika iapun menuntun Domba miliknya untuk diberikan pada Pak Kyai, pikirannya menerawang dengan senang akan apa yang bakal didapat dari Pak Kyai. Boby sangat tahu akan sifat Pak Kyai yang pemurah.

‘Ketela aja dibalasi anak Domba,, nah ini saya Domba bunting? Minimal dapet anak Sapi atau bahkan diangkat mantu nih! Wah haha!” Pikiran Boby tebayang indah, hingga tak terasa sampailah ia dirumah pak Kyai.

Dari kejauhan, Boby lihat Pak Kyai tengah asyik makan Ketela Goreng dan air teh diteras depan.

“Kebetulan beliau sedang santai” Hati Bobi berkata lagi, iapun segera mendekat dan dengan segera mengikat tali kekang Dombanya ditiang rumah

“Assalamualaikum Pak Kyai” Boby memulai salam, lalu segera sungkem.

“Waalaikum salam,, loh nak Boby itu kenapa Dombamu diiket didepan situ?” Pak Kyai heran, tanpa ijin Boby mengikatkan Domba besar diting terasnya.

“Iya ini, saya hendak mengantarkan Domba buat pak Kyai” Boby mentap Pak Kyai berbinar, hatinya tidak sabar

“Kalo gitu saya pamit dulu Pak Kyai, wassalamualaikum” Boby kembali sungkem hendak berlalu, dalam hati merasa aneh dengan sikap Pak Kyai yang seperti terpekur.

“Waalaikum salam..” Pak Kyai menjawab pelang, terdiam sesaat.

“Jazakalloh..” Pak Kyai mendoakan Boby atas pemberiannya, dalam hati Pak Kyai bngung; 'apa yang dapat dijadikan buah tangan untuk Boby?'

“Eh ya, tunggu sebentar nak Boby” Pak Kyai segera berlalu kedalam rumah, beliau teringat sisa Ketela pohon dari Basyir. Didapatinya ketela tinggal setengah ikat, karena setengahnya lagi baru saja digoreng dan dimakannya.

“Meski tinggal setengah iket, setidaknya pelajaran saling membalas kebaikan itu tidak sebatas pelajaran teori pada murid-muridnya” Pikir pak Kyai, mengambil Ketela yang tersisa, untuk diserahkan kepada Boby yang tengah menunggu diteras

#jejak_para_kekasih
Cimahi18022017

Senin, 06 Februari 2017

Mimpi Terindah

 Terkadang seseorang akan menangis, ketika bahagia tak terwakili sederhananya sebuah kesenangan dalam senyuman. Juga sering kita melihat bagaimana seseorang terbahak dalam kesedihannya, seakan tangis sudah tidak lagi mewakili rasa terluka yang begitu menyiksa.

 Terkadang jiwa menerima sesuatu yang melebihi kelima indra, hingga lahirlah indra ketujuh menembus batas-batas kasat mata. Sebagiamana sebuah doa, sebagaimana sebuah cinta.

 Dalam kelam mimpi semalam, kulihat bulan purnama. Bermandikan gemintang yang jernih terbasuh langit hitam. Lalu angin melambat, melembut perlahan mengendap tak menapak pada permukaan tanah.

 Bagaimana semua ini dapat terlewati begitu saja? Terhanyut geming demi merasakan kejernihan akan suatu kasih dan sayang, yang tidak mungkin terpenuhi manusia yang serba alpa.

 Akankah semua dapat membuka mata dan wajah untuk bersama menikmati ini semua? Meski peluh selalu luruh, meski kisah terus mendesah? Menatapi untuk menetapi sebuah negri penuh cahaya.

 Biarlah lagu itu terus mengalun, meremajakan jiwa yang merenta karena lelah. Karena sejatinya ia kekal, tidak mesti berubah oleh belenggu masa dan keadaan.

 Biarlah ku mengingat, meski membeku di setiap malam-malam panjang. Biar sebatas bayang yang memandu, karena lahirmu membahagiakan seluruh alam. Dan semoga ingatlah jiwa yang lupa ini akan Penciptamu.

 Terus saja ku mengeluh, sebagaimana seorang anak kepada ayahnya yang kian lama berpisah lalu dipertemukan diujung rindu. Namun hanya diam, tersenyum lalu membuka tangan untuk mendekapku dengan hangat.

 “Segala puja dan puji hanya bagiNya, yang mempertemukan tiap insan meski terhalang ribuan masa dan palung-palung zaman. Lalu semua akan kembali dan disatukan dengan siapa yang dicintainya” Kuingat kau berbisik lirih, memberi isyarat akan berlalu. Dan akhirnya berbalik pergi setelah menitip salam dan senyum yang begitu indah.

#mimpi_terindah
#jejak_para_kekasih

semangkuk geming janus

 Sajian malam tengah siap, seketika terbangun dari mimpi yang tidak kumengerti. Hanya dapat dapat terdiam, hanya dapat menghela. Meski ingin memaksa malam untuk mengerti, nyatanya tetap saja sang malam dingin dan enggan menceritakan rahasia itu.

Berat sungguh, sang kekasih yang menyadarkan pendaman cinta dari lautan lumpur dusta. Ia menyibak lalu memilihkan satu cinta yang menentramkan, seakan mempertemukan sepasang kekasih yang telah lama dirundung rindu. Agar tak habis detakan umur sebatas pencarian, agar tersenyum penuh balasan digerbang pertemuan. Sebagai kasih yang mengobat rindu, lalu membakar pada pembuktian dan pengorbanan.

Kemana saja selama ini pandang teralih? Kemana saja selama ini hati mengecap? Kemana saja jiwa menghadapkan wajahnya sendiri? Kemana saja?

Padahal segala sesuatu Ia ciptakan muaranya, dan menuntut darah dan air mata dalam perjalanannya.
Meski terlahir dalam kandungan rahimNya, bukankah tidak sedikit yang berjuang untuk kesengsaaraannya sendiri agar tetap terus bermain dalam samudra berbagai pilihan?

Menganggap ego adalah cinta, amarah untuk pijak semangat perubahan, ataupun ratap caci sebagai kejahatan berkulit empati?

Marilah kemari, duhai para perindu. Bila malam adalah pakaian bagi yang telanjang, yang penuh malu menyembunyikan aurat dan aib di terangnya pandangan Yang Melihat.
Marilah mendekat karena Altar telah siap, dan sajian terhidang. Siapa tahu, kita memang berjodoh mereguk kasih bersama.

#semangkuk geming
#janus