Akan halnya sekarang kulihat jalan usai melewati pendakian, datar yang dikanan kirinya terbentang jauh padang sabana yang basah karena sisa hujan semalam. Tanah yang tersiram hujan itu ,seakan mengembang bercampur air menjadi basah. Lalu meninggalkan bekas langkah kaki para binatang malam yang mencari makan berlalu lalang, berlalu tanpa ragu sebagaimana waktu yang tengah kulalui.
Kita lihat sekarang nampak sebuah bukit, namun semakin ku mendekat semakin jauh bila kuhitung langkah-langkahnya. Maka, usah pula kau hitung, cukup pada seorang saja bagaimana kebodohan itu menyapa.
Kulihat bukitnya menghijau cerah, bersama mentari yang mula muncul diufuk, sekarang suasana makin membuat riang penduduk pagi.
Aku masih memaksa melangkah meski berteman kabut, masih terus berjalan meski terseok. Dan saat puncak nanti ku pijaki, ada harap sebuah telaga bersenang hati mengumpul semua. Agar terang dan tenang aku menghadapNya, dalam pusara waktu menuju alam tak berwaktu. Akankah sama dengan mimpi? Akankah jauh lebih terhina saat kujelang? Aku tak peduli, yang kutahu Ia tidak Berkehendak untuk suatu kesiaan, meski itu hanya untuk seorang pendosa. Selalu Ia Maha Bijaksana, baik kita ada atau tiada. Yang kutahu, Ia selalu menyiapkan dua jalan kebaikan dalam mengapit setiap kesalahan, hanya saja kerap lupa dan putus asa.
Bukit hijau itu, jalurnya memang menanjak. Untuk itulah mungkin karena sering lalai dengan berharap kawan, demi melarut letih dan sepi menujunya. Karena diantara Kebesarannya, Ia jadikan kita pernah bersama lalu Ia pisahkan kembali. Agar nyata menyapa bahwa hanya Ia yang layak dirindu, karena memang Ia Yang memampukan dan menguatkan.
Jika puncak belum tentu kupijaki, sedang senggal nafas kian memburu mati. Asal keyakinan ini Ia terima, hingga nanti semuanya terbuka. Akan semua hal dibalik kabut, dan semua yang dikandung bukit yang menghijau itu.
Sementara semua berperan, biar ku dengar kicauan burung yang bertasbih baik dalam lapar ataupun kenyang. Atas biar ku pelajari bagaimana kukuhnya sebatang pohon kelapa yang tidak ragu berbuah dan batangnya memancang ke langit, meski kerap kilat mengancam untuk merenggut nyawa. Cukup, usah kata lagi benci itu.
Biarkan semua tenang kita simpan diperut bumi, bagaimanapun saat itu terasa indah. Asal modal itu selamat kita bawa, baik bersama atau terpisah. Beribu cerita yang kudengar kemarin, tetap takkan cukup menebus luka yang kau adukan padaNya.
Usah menagis lagi didepan ku, sungguh itu tidak layak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar