[^__^] Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh [^__^]

Minggu, 16 April 2023

Mr Perfect

Lelaki itu kembali terdiam. Terdiam ... hanya karena selembar uang dua puluh ribuan yang dihasratinya ingin menjadi sebuah buku bagus. Mimpi! akalnya memvonis. Tapi jika Allah berkehendak?

 Bukan tidak ada sebuah buku yang menarik hatinya, bahkan banyak, tapi laki-laki itu sedang coba menunggu kenyataan. 

"Tapi siapa tau? ada buku bagus dan murah terselip di antara ribuan buku-buku mahal ini." Batin lelaki itu terus menyanggah dirinya sendiri.

"Cari buku ... apakah?"

Tiba-tiba, sang penjaga toko datang dan bertanya dengan hangat. Lembut suaranya sebagaimana khas seorang perempuan menyapa. Kepada lelaki itu, mungkin perempuan itu iba terhadap pelanggan yang sejak sejam lalu hilir mudik di antara rak-rak buku fiksi. Hampir menyempurnakan bilangan tawaf, tapi tanpa talbiyah.

"Sebuah Novel," lelaki itu spontan membalik badan, langsung ke arah lawan bicara. 

Deg! 

Lelaki itu tidak menyangka, sang penjaga toko tenyata berdiri di belakangnya begitu dekat. Keduanya tergagap, kaget. 

"Tepatnya sebuah Novel sejarah, historikal novel." Dia coba menguasai diri lebih dulu dari rasa kagetnya. Namun, rupanya justru sang penjaga toko itulah yang terlambat menguasai diri hingga beberapa saat. Pupil mata perempuan itu membesar, dengan mulut sedikit terbuka.

"Ada?"

Lelaki itu kembali coba melawan canggung. Mendengar suara berat untuk kedua kali barulah perempuan itu tersadar.

"Tentu saja ada Kang," 

Segera, senyum lembut terbit di bibir perempuan itu. "Terjemahan novel karya Sibel Eraslan sungguh kuat diksi dan muatan literaturnya, atau novel karya anak negeri seperti Muhammad Sang Penggenggam hujan karya Tasaro?" kembali perempuan itu dengan semangat menawarkan koleksi dagangannya.

"Dua puluh ribu?" 

Lelaki itu tiba-tiba. Lalu keduanya kembali terdiam, mata mereka bertemu. Kali ini tidak saling mengagumi seperti sebelumnya. Perempuan itu lebih seperti melakukan serangan umum dengan melemparkan sebentuk tatap ketidak percayaan akan ucapan lelaki di hadapannya, sedangkan lelaki itu ... terus saja menguatkan doa di dalam hati.

Keajaiban! keajaiban! Semuanya memang bisa saja terjadi, bukan?

"Tentu saja ada Kang ..." Akhirnya, perempuan penjaga toko itu memberi kabar yang begitu menggembirakan. Lelaki di hadapannya hingga terlonjak girang. Rasanya, lelaki itu segera mendekat dan memeluk sang penjaga toko seketika saat itu juga.

"Ta- tapi kang ... bukan di toko ini!" Sang penjaga toko itu tersenyum sangat puas, tapi langsung berlalu.

krek!
 Seperti ada suara retak di dalam hati lelaki idealis itu, tapi ia tidak mengeluh. Seperti saran sang penjaga toko yang berbalik badan berlalu darinya, lelaki itu kini menuju toko buku yang lain.

Ar, Sunset in Bandung 08022019

Sabtu, 15 April 2023

Pelipur Malam

Aku lihat engkau masih tenggelam dengan malammu, malam yang hanya kau saja yang mengerti. Aku juga tidak mengerti ... mengapa matamu itu selalu sendu?

  Malam kita di sini, terasa mengaburkan tiap-tiap lapisan kabut sejak senja. Hilir-mudik saja kendaraan dan manusia bersenggama di sepanjang jalan. Terhempas, terjerembab, tercabik ...  oleh hingar bingar egositas eksistensi jiwa, yang kekosongan. Hingga dengan cepat sapuan angin aral pun tidak kuasa kita ikat, dalam derap kebersamaan yang penuh ramah tamah.

Dalam hening, rasa yang semakin langka dalam hatiku ... tiba-tiba berceloteh banyak sejak kedatangnmu. Namun, ternyata pujianku hanya membuatmu semakin dingin--jauh melesakan ratap di lubuk hati terdalamku. 
Pernahkah engkau? Mempertanyakan kesudahan dari setiap kerinduan?
Rasanya ingin aku teriak saja, tapi tidak berani.

        “ Kota ini terlalu kejam, Aisyah ... tangan kita terlalu lemah untuk merangkul semua!  Pasak yang besar takkan kuat ditopang sebuah pilar rapuh dari segala wacana pegosip dunia. Begitu juga bila pasak itu terlalu kecil, meski kokoh pun ... hanya akan menyiksa semua penghuni yang bernaung dibawahnya."

Itu katamu, saat kemarin aku dekati kesendirianmu dalam hening renungan, tapi aku lihat kau tidak merasa nyaman, meski menyungking seulas senyum, yang manis ...  seperti  biasanya. Lalu kau kembali dengan ucap lebih lirih, “ dan di saat hujan, para penghuni di bawahnya itu akan basah kedinginan, dan akan pening kepanasan di saat siang menerik.” Katamu lagi, selepas terjeda batuk yang begitu tiba-tiba.

Aku masih terlalu segan membuka suara, selain gumam-gumaku sendiri. Karena memang aku sendiri masih tidak mengerti; Mengapa kau mesti memikir semuanya itu sendiri?
Lalu apa sebenarnya arti hadirku di matamu itu, Kang?

Aku memang bukan satu-satunya perempuan dalam rumah tanggamu, aku terima. Namun, salahkah jika aku selalu ingin membelai wajahmu dinginmu itu? Merebah di dadamu yang begitu panas berdegupan. Ah! bahkan aku sendiri tidak mengerti dengan kegilaanku ini, maaf.

  Hingga pada suatu ketika, dengan sombongnya aku berlari dari candu-candu pelukan tubuhmu. Sendumu itu, Kang .. aku lihat seakan mewakili ke liang pilu di seluruh kota. Lalu, kekatamu itu mengalir tergesa, seperti air-air musim hujan yang menderas di sepanjang bengawan. 

“Tak ada pilihan lain, rasanya kita akan mati sebelum waktunya, jika segala apa yang dilihat mata hingga melumpuhkan kaki! Kita tidak mungkin terus berpangku tangan melarikan diri terus melelap di kamar gairah!” Katamu menegas, mengingat kembali bahwa kita melangkah memang untuk berlari menjauh, berlari seakan pengungsi perang takut mati.

        “Maaf,” Akhirnya, suaramu itu memelah. Liriih tersendat, setelah sepi memeluk kita di selepas pecahnya segala keluh dan kesahnya kemarahanmu. 

        “Tak mengapa Kang.” Senyumku, kali ini akhirnya coba menerobos segala segan-segan sebagai perempuan. Kau pun kembali mendekat, mendekapku lebih rapat. Kita jadi semakin menyatu akhirnya.

Malam pasti tersipu malu, mengintip mesra cita cinta kita, yang makin mengikat waktu  meski di ranjang peperangan.

“Inilah ketulusan,” Katamu, Kang ... bersama engah senyum yang begitu lapang. Deru dada kita masih terasa sibuk menertibkan lalu lintas udara yang keluar-masuk ... dengan tergesa. 

Ar, 12042019

Rabu, 08 Februari 2023

Subsidi Silang


Dia terharu, mendapati salah satu perempuan di Republik Indonesia ini ---istrinya sendiri-, kini sedang menjemur kancut dan kutang, yang entah kapan berhasil dihutangi dia sendiri ke salah satu pedagang kreditan.

Saking sibuknya mengurus rumah dan keluarga, hingga mungkin lupa untuk membeli yang baru, yang lebih aman melindungi isinya dari jejak jahil kecoa atau mungkin tungau.

Ah laki-laki itu terpekur, mengingat-ingat kapan terakhir kalinya perempuan yang tengah menjemur di hadapannya itu meminta dibelikan pakaian dalam.

Entah!

Entahlah kapan terakhir kali kancut dan kutang itu berhasil dikredit untuk Sang Istri. Lalu dia jadi malu sendiri, yang sering menuntut isinya selalu bersih tersaji tanpa  memperhatikan kelayakan  kemasan.

Tiba-tiba saja dia jadi rindui tukang kredit dari Tasik yang ramah itu. Yang sederhana, tapi cantik alami itu.

Ah ya!

Jika perempuan dari Tasik itu berhasil dia kawini. Setidaknya ... soalan kancut dan kutang Sang Istri tercinta tidak lagi koyak sebegitu rupa. Sebagaimana yang kini dia lihat bergelantungan, jalang, melambai-lambai di pinggir jalan.

#belajar #fiksi #realisme #sosial
Ar 08 Feb 2023

Minggu, 05 Februari 2023

Si Asbak

Si Asbak, temanku ... kali ini datang membicara lagi teory-teory anehnya. Dia, dengan semangat berapi-api---berbicara cepat tanpa jeda dan. berwajah keringat, semacam orang makan siang berkuah sambel pedas.

"Dah lah! Bro ... jangan kebanyakan pertimbangan menilai calon istri. Yang penting rajin sholat, demen ngaji aja dan tentunya berlubang!"

Aku setengah tidak percaya dia akan menimpali ceritaku sesarkas itu. Bagaimana bisa dia bicara begitu? Apa dia lupa.bagaimana dulu sejak sekolah di SMK hingga begitu melankolis hanya karena soalan satu perempuan. Apa dia juga lupa mendapat julukan Si Asbak sejak saat itu? Yang merokok membabi buta hingga sisa puntung teman-teman saat nobar ia punguti semua, lalu dilinting ulang dengan kertas buku matematika,.hingga asbak nyaris.bersih tanpa tembakau.

"Seperti rokok, kau takkan benar-benar merasainya nikmatnya jika hanya terpaku tampilan luar. Yang kau harus tau merokok itu demi merasai kenikmatannya." 

Dia menepuk pundak, membuatku seketika tersadar dari masa lalu. Masa di mana kami sering begadang bersama, hanya karena ingin menonton bola.

"Lama-lama juga akan terbiasa, lalu terasa enaknya," Enteng saja dia terus bicara, memandangku seperti orang linglung dan kelaparan. Mentang-mentang sudah nikah dua kali, huh! Ingin rasanya menyerang balik dengan pertanyaan bagaimana dulu dia begitu rapuh ditinggalkan seorang wanita, bagaimana dia hingga seperti manusia baru yang menyesal telah menjadi laki-laki santun dan alim.

"Kau tahu kenapa teman-teman sekolah kita dulu hingga menyebutku Si Asbak? Ha ha ha!"

Dia tertawa sendiri dengan tidak lucu. Aku jadi mengingat lagi saat pertama kalinya Si Ajat memanggil dia Si Asbak, hingga saling membikin hidung berdarah.

"Ya, karena kau menghabiskan semua puntung rokok kretek saat di rumah Si Ajat, kan?"

"Bukan! Tapi karena aku telah menemukan bagaimana nikmatnya menghisap tembakau hingga tidak peduli dengan merek dan kemasannya. Puntung maupun utuh, selama masih bisa kubakar dan kuhisap .. tembakau tetap saja nikmat."

 Kali ini dia menjawab dengan wajah serius, lalu melanjutkan dengan suara bak seorang filosof, ''Karena saat Kau telah terhanyut rasa, maka segala fisikmu takkan lagi ikut mendikte persepsimu ... lalu kau akan terbebas dari sikap diskriminatif."

"Lalu kenapa dirimu tak suka rokok putih? Apa  rokok putih itu produk luar negri hingga rasa nasionalismemu itu mengalahkan perasa nikmat terhadap tembakau dijiwamu? Bukankah semua rokok sama saja? Bukankah itu juga diskriminatif?"

Mendengarku bicara dengan nada meninggi, dia hanya tersenyum---seperti menyikapi anak kecil yang merajuk.

"Bukan karena itu, tapi rokok putih itu bukan tembakau murni. Itu kertas celup dirajang seperti tembakau rokok."


Ar, 05 Feb 2023