[^__^] Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh [^__^]

Minggu, 21 April 2019

MATA HATI

Kota Bandung meneduh dipayungi awanan putih siang ini. Sepasang kekasih, sepasang pengantin baru itu duduk merapat, berseri-seri atas segala karunia, perasaan, juga takdir yang telah mereka yakini penuh, bahwa semuanya dari Sang Pencipta. Di pojokan salah satu serambi teras mesjid, mereka asyik berbincang mesra, mereguk setiap detik kebersamaan yang dirasa begitu manis. Hingga seorang perempuan tua melintas, si pengantin laki-laki tiba-tiba terdiam.
.
“Ada apa, Bib?” Fatimah, sang perempuan yang baru dipersunting Habib semalam menjadi istrinya, seketika keheranan dengan perubahan wajah suaminya. Wajah manisnya ikut mengejar arah pandang sang suami, lalu kembali memandangi wajah suaminya. Masih belum mengerti dengan ekspresi tegang suaminya.
.
“Kau benar Sayang, seharusnya kita sentiasa bersyukur.”
.
“hehe.. kok tiba-tiba. Kenapa?”
.
“Sayang, tolong kasih makanan ini ke perempuan sepuh itu.” Habib acuh dengan pertanyaan istrinya. Fatimah kembali mengikuti kemana arah suaminya melihat, akhirnya ia mengerti setelah melihat sesosok perempuan sepuh yang berjalan pelan seperti lupa arah.
.
“Mmm, Sayang, harusnya kita kasih uang, bukan makanan.”
.
“Tapi sepertinya ibu itu bukan pengemis, takutnya beliau tersinggung jika kita kasih uang recehan.”
.
“Tapi Bib, Fatimah kan nggak bisa bahasa orang sini.”
.
“Nggak papa Sayang, semua orang pasti mengerti, saat kita mengulurkan tangan untuk memberi.” Kali ini Habib beralih memandangi Fatimah yang merasa segan, karena kelemahannya dengan bahasa lokal.
.
“Ibu itu sudah sebegitu jauh Bib.” Fatimah makin kebingungan, memandangi wajah suaminya dengan memelas.
.
“Kejarlah Sayang! Langkah ibu itu sungguh pelan, Istriku pasti termasuk perempuan yang gesit dan peduli."
Setelah mengangguk di hadapan suaminya, Fatimah segera menyongsong perempuan yang dimaksud Habib. Sedikit berlari Fatimah mengejar perempuan tua itu, dengan tangan menenteng sekantung makanan ringan juga minuman kopi dan air mineral di dalamnya. Dari jauh Habib tersenyum memandangi Fatimah, betapa terlihat lucu saat istrinya berlari dengan panik.
.
--- Lima belas menit kemudian.---
.
“Sudah sayang?” Dengan tersenyum, Habib menanyai istrinya yang telah kembali kehadapan dengan terengah
.
“Sudah.” Fatimah membalas pendek, napasnya tersenggal setelah berlari cukup jauh.
.
“Alhamdulillah, istriku emang keren.” Habib tersenyum puas terhadap Fatimah, tapi yang disenyumi malah seperti hendak menekuk wajahnya. “Sayang, kenapa?” Habib mendekatkan wajah ke hadapan Fatimah, perhatian.
.
“Kenapa nggak sama Bibib aj sih? Tadi ibu itu bicara dan Fatim nggak ngerti.” Fatimah mulai merengek.
.
“Aduh, maaf sayang. Takutnya ibu itu malah lari jika Akang hampiri sendiri, jika Fatim kan wajahnya manis, pasti ibu itu akan merasa lebh nyaman.” Habib sedikit menahan tawa memerhati wajah istrinya sendiri. Betapa lugunya.
.
"Makanya rambutnya jangan gondrong! Bib," Polos Fatimah kembali membuat Habib hanya tertawa. Lalu kembali Fatimah meneruskan,
“lalu kenapa nggak kita kasih uang aja Bib? Kan dengan uang ibu itu nanti bisa beli makanan juga buat malamnya?”
.
“Saat ibu itu melintas, kan kita sedang menikmati makanan, hingga ibu itu kembali melintas, Akang pikir ibu itu sedang lapar dan kehabisan bekal, lalu akang teringat pesan Nabi ... jika kita memasak sesuatu, perbanyak lah kuahnya.”
.
“Perbanyak kuahnya?”
.
“Ya sayang, itu kalimat kiasan, yang artinya kita harus membagi makanan ke sekitar kita, yang mungkin tengah merasakan kelaparan di saat kita syik menikmati lezatnya makanan.”
.
“Jika kuah saja di anjurkan untuk memperbanyak kuah untuk berbagi dengan sesama, apalagi dengan banyak makanan yang kita beli dan terlihat oleh orang yang sedang kelaparan?”
Fatimah terdiam, entah merenung atau bingung. Habib hanya tersenyum saja memandangi istrinya yang dilihatnya begitu manis.
.
“Kenapa senyam-senyum begitu?” Fatimah tersipu dipandangi sedemikian lekat oleh suaminya.
.
“Nggak apa-apa sayang,” Habib segera memasang wajah serius. “Tadi ibu itu bilang apa ke Fatimah, saat ditawari?”
.
“Masya Allah Bib, pundak Fatim sampe di gosok-gosok sambil didoakan! Tapi ...” Fatimah segera tersenyum, lalu kembali terlihat bingung.
.
“Kenapa?”
.
“Kami saling bicara dengan bahasa sendiri-sendiri tanpa ngerti bicarakan apa.”
.
“hahaha, nggak apa-apa... tapi setidaknya ibu tadi mengerti, Bahwa Fatim tidak buta dengan keadaan ibu itu.”
.
“Maksudnya?”
.
“Maksudnya, setidaknya ibu itu mengerti, Bahwa Fatim hanya coba berempati, hingga seketika berbagai doa-doa kebaikan terucap dari ibu itu, meski kita tidak mengerti bahasa lisan satu dengan lainnya, meski mungkin ibu itu sebenarnya tidak kelaparan, tapi mata hati ibu itu akan selalu melihat dan mengerti, bahwa bahasa hati selalu mudah dirasakan, seperti ketulusan.”
.
        "Iya Bib, ibu itu tadi terlihat begitu senang saat menerima makanan kita tadi, meski ibu sepertinya juga   tidak mengerti dengan kata-kata Fatim." Lugu Fatimah berkata-kata di hadapan suaminya yang segera kembali menerbitkan tawa.
.
"Ah ya dah Bib, kita udah dulu mojoknya. Tentu, kita juga harus berempati dengan para jomblowan jomblowati di sekitar."
.
"Nah makanya Bibib nggak setuju jika kita upload kemesraan di depan umum, hehe."
.
Ar, Bandung 20142019
Di ruang rindu

Tidak ada komentar: