[^__^] Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh [^__^]

Sabtu, 15 April 2023

Pelipur Malam

Aku lihat engkau masih tenggelam dengan malammu, malam yang hanya kau saja yang mengerti. Aku juga tidak mengerti ... mengapa matamu itu selalu sendu?

  Malam kita di sini, terasa mengaburkan tiap-tiap lapisan kabut sejak senja. Hilir-mudik saja kendaraan dan manusia bersenggama di sepanjang jalan. Terhempas, terjerembab, tercabik ...  oleh hingar bingar egositas eksistensi jiwa, yang kekosongan. Hingga dengan cepat sapuan angin aral pun tidak kuasa kita ikat, dalam derap kebersamaan yang penuh ramah tamah.

Dalam hening, rasa yang semakin langka dalam hatiku ... tiba-tiba berceloteh banyak sejak kedatangnmu. Namun, ternyata pujianku hanya membuatmu semakin dingin--jauh melesakan ratap di lubuk hati terdalamku. 
Pernahkah engkau? Mempertanyakan kesudahan dari setiap kerinduan?
Rasanya ingin aku teriak saja, tapi tidak berani.

        “ Kota ini terlalu kejam, Aisyah ... tangan kita terlalu lemah untuk merangkul semua!  Pasak yang besar takkan kuat ditopang sebuah pilar rapuh dari segala wacana pegosip dunia. Begitu juga bila pasak itu terlalu kecil, meski kokoh pun ... hanya akan menyiksa semua penghuni yang bernaung dibawahnya."

Itu katamu, saat kemarin aku dekati kesendirianmu dalam hening renungan, tapi aku lihat kau tidak merasa nyaman, meski menyungking seulas senyum, yang manis ...  seperti  biasanya. Lalu kau kembali dengan ucap lebih lirih, “ dan di saat hujan, para penghuni di bawahnya itu akan basah kedinginan, dan akan pening kepanasan di saat siang menerik.” Katamu lagi, selepas terjeda batuk yang begitu tiba-tiba.

Aku masih terlalu segan membuka suara, selain gumam-gumaku sendiri. Karena memang aku sendiri masih tidak mengerti; Mengapa kau mesti memikir semuanya itu sendiri?
Lalu apa sebenarnya arti hadirku di matamu itu, Kang?

Aku memang bukan satu-satunya perempuan dalam rumah tanggamu, aku terima. Namun, salahkah jika aku selalu ingin membelai wajahmu dinginmu itu? Merebah di dadamu yang begitu panas berdegupan. Ah! bahkan aku sendiri tidak mengerti dengan kegilaanku ini, maaf.

  Hingga pada suatu ketika, dengan sombongnya aku berlari dari candu-candu pelukan tubuhmu. Sendumu itu, Kang .. aku lihat seakan mewakili ke liang pilu di seluruh kota. Lalu, kekatamu itu mengalir tergesa, seperti air-air musim hujan yang menderas di sepanjang bengawan. 

“Tak ada pilihan lain, rasanya kita akan mati sebelum waktunya, jika segala apa yang dilihat mata hingga melumpuhkan kaki! Kita tidak mungkin terus berpangku tangan melarikan diri terus melelap di kamar gairah!” Katamu menegas, mengingat kembali bahwa kita melangkah memang untuk berlari menjauh, berlari seakan pengungsi perang takut mati.

        “Maaf,” Akhirnya, suaramu itu memelah. Liriih tersendat, setelah sepi memeluk kita di selepas pecahnya segala keluh dan kesahnya kemarahanmu. 

        “Tak mengapa Kang.” Senyumku, kali ini akhirnya coba menerobos segala segan-segan sebagai perempuan. Kau pun kembali mendekat, mendekapku lebih rapat. Kita jadi semakin menyatu akhirnya.

Malam pasti tersipu malu, mengintip mesra cita cinta kita, yang makin mengikat waktu  meski di ranjang peperangan.

“Inilah ketulusan,” Katamu, Kang ... bersama engah senyum yang begitu lapang. Deru dada kita masih terasa sibuk menertibkan lalu lintas udara yang keluar-masuk ... dengan tergesa. 

Ar, 12042019

Tidak ada komentar: