[^__^] Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh [^__^]

Kamis, 04 Juli 2019

AKAD BERSAMA

Bulan syawal bulannya para lajang menikah. Katanya, bulan ini juga membuat para jomblowan  jomblowati berharap lebih akan keajaiban bersegera disahkan di KUA --meski sebenarnya ada diantara mereka yang belum punya calon pasangan. Keajaiban itu memang bukan isapan jempol, mereka tahu dan menyandarkan harap dalam doa-doa dengan mengingat sejarah Rasulullah yang menikahi Aisyah di syawal ini. Untuk syariat  nikah menikah, semua telah mereka harapkan dengan sungguh-sungguh melaksakannya.
.
Tentu, menikah itu bagi yang mampu dan mau. Tapi tidak sedikit juga para pasangan menikah dengan  enggan atau terpaksa, seperti ‘married by accident’ karena telah merasakan kawin dengan sangat nikmat hingga hamil- meski bisa sembunyi dari pandangan mata ... pada akhirnya mereka tidak ingin selalu gelisah dan takut dihukumi masyarakat beradab, “Memang urusan apa lagi yang bisa dilakukan sepasang kekasih untuk aktivitas seks dengan legal?” ujar mereka dengan logis. Urusan legalitas tentu telah dipahami dengan sangat kokoh di dalam masyarakat berbudaya luhur. Tapi ada juga seseorang enggan menikah itu karena tidak menikah itu karena tidak memungkinkan untuk kawin –alat vitalnya di gondol mantan misal?-.
.
Terlepas dengan semua itu, semua pihak  menghormati arti sebuah ikatan legalitas pernikahan, siapapun! Bahkan kita bisa bertanya langsung kepada para pejuang pernikahan sejenis, yang juga pengusung freesex dan LGBT. Bukankah mereka sebegitu gigihnya ingin dilegalkan dalam sebuah ikatan pernikahan? Meski menuai caci bahkan maki dengan dibanding-bandingkan dengan insting babi yang jauh lebih baik dari mereka  –seengaknya babi masih normal dalam urusan kawin-. Terdorong hasrat dan perasaan, manusia memang bisa menempuh segala aturan-aturan pelik dengan suka cita, begitu juga dengan Umair, yang menginginkan segera menikahi Ning di bulan syawal.
.
Umair benar-benar merasa siap dan mampu, bahkan saat Ning mengutarakan persoalan dirinya yang telah beranak satu, Umair tidak keberatan sama sekali. Bahkan Umair merasa beruntung, seperti merasa beruntungnya para ibu-ibu yang membeli deterjen lalu menemukan piring cantik di dalamnya. Tak peduli meski harus membayar lebih mahal. Jika sudah menyangkut urusan hati, adakah logika mampu membendungnya?
.
“Sudahlah Ning, tunggu apalagi? Seharusnya kita lebih optimis dan semangat, kita ini mau ibadah, bukan hendak berzinah ... kita hendak membangun miniatur negara penuh cinta kasih yang barokah.”
.
“Tapi Kang, Beny anakku itu ... sejak kecil di asuh tanpa figur laki-laki yang baik, jadinya sekarang begitu protektif terhadapku, akang harus sabar,”
.
“Lalu mau tunggu hingga kapan? Bagaimanapun itu sebuah ketimpangan dalam pola asuh, apalagi Beny sendiri seorang lelaki yang nantinya akan jadi figur juga bagi anak-anaknya ... cepat atau lambat Ning tetap harus mengambil keputusan.”
.
“Ning mengerti, tapi tolong Akang sabar, dan beri waktu untuk Beny,”
.
“Gimana baiknya saja Ning.” Umair akhirnya terdiam.
.
Ning tahu, lelaki yang dikasihinya itu merasa kecewa, namun dirinya berharap, sebuah cinta juga dapat menyabarkan dan menguatkan setiap kali tantangan itu hadir. Ning mulai membayangkan hidup menua bersama Umair dan Beny. Ning berbunga-bunga membayangkannya, lupa dengan wajah Umair yang masih berdiri menekuk muka dihadapan.
.
“Jadi Abang nggak mau ngalah dengan Beny yang masih kecil? Belum yakinkah dengan rasa sayang Ning selama ini Kang?” Ning mulai memburu. Rasa bingung yang kian menjalar ia meluap menjadi tangis.
.
Umair telah lebih jauh mengenal Ning, untuk itulah dirinya segera tersadar akan keadaan Ning, dan berkata lebih pelan, “Mengasuh anak dan menikah itu sama-sama ibadah Ning, kenapa dua hal yang sama arahnya kita benturkan?”
.
“Bukan begitu Kang! Tapi Akang tidak tahu bagaimana Beny sebegitu trauma dengan sosok ayahnya dahulu ...” Ning mulai menangis, suaranya bergetar parau. Umair melihatnya jadi ikut serba salah, namun sebuah pemikiran terus saja mendesaknya untuk memaksa Ning mengambil kejelasan.
.
“Baiklah Akang minta kejelasan waktu ... hingga kapan Akang harus menunggu untuk menikahimu, Ning?” Umair coba bersikap bijak.
.
“Entahlah Kang, Ning pusing!” Tiba-tiba Ning berbalik pergi, meninggalkan Umair yang bengong terbengong dengan sikap Ning yang tak terduga.
.
“Ning tunggu, menurutmu apa sih arti sebuah Akad? Jika kita hanya ingin senang senang, kita bisa sewa hotel sekarang juga, dan tidak usah lagi bicara tentang pernikahan.” Umair sedikit meletup, gemas dengan ketidakjelasan sikap Ning.
.
“Akang!” Ning teriak. Sensitifitas hatinya sebagai perempuan merasa dilecehkan. Ning tak percaya mendengarnya, jika Umair, laki-laki yang dikagumi dan disayangi sepenuh hati akan berkata sesarkas itu.
.
“Kenapa Ning? Dengan begitu Akang takkan bermasalah dengan Beny kan? Karena kita tidak harus serumah sebagai suami istri!”
.
Ar, Juli’2019
Satu Ruang Yang Hilang

Tidak ada komentar: