Tanah merah areal pemakaman terlihat begitu lembut. Setelah semalam, gerimis mengairinya dengan lirih, tanpa gaduh petir, juga angin kencang puting beliung yang biasanya selalu menyerta daerah lapang Tigeneneng dan sekitaran Way kambas.
.
Rinai hujan gerimis itu seakan iba, lalu dengan airnya yang jernih ikut menangis, serta ikut menemani seorang gadis remaja di samping sebuah pusara. Airnya itu menambah segar berbagai bunga-bunga harum di atas pusara, pun dengan bunga kamboja muda yang baru di tancapkan diujung kaki pusara seorang ibu muda itu. Sedang embun, diam-diam ia menyapa, ikut menambah basah gamis dan kerudung remaja yang kini masih terpekur.
.
Entah sampai kapan, gadis remaja itu menunggui kuburan ibunya. Telah sejak malam, sejak pertama kali ia mendapati kabar dari pamannya, sepulang dirinya dari kegiatan salah satu ekstrakulikuler pecinta alam sekolah senja itu, ia tidak ingin beranjak dari pusara ibunya. Dia pasti sangat merasa bersalah, karena hampir setiap hari membiarkan ibu bak pembantu rumah, enggan membantu juga manja. Alasannya ya itu, karena ia sangat aktif mengikuti berbagai kegiatan ektrakulikuler, hingga biasa pulang menjelang senja atau bahkan setelah isya.
.
Aku, hanya dapat ikut menunggu, tanpa bisa memintanya pulang. Untunglah aku tidak ikut menggigil kedinginan, karena memang terus memelukku begitu erat.Tapi maaf, aku tidak bisa ikut mematung, karena setiap pagi perutku pasti lapar. Dan, oh! itu ada tikus hutan berlarian di ujung pemakaman. Hup!, aku harus melompat mengejarnya. Tapi tidak bisa, ia sekarang makin erat saja memeluk tubuhku.
***
.
Siapa sangka? ibu yang tadi pagi melepasnya dengan senyum khasnya itu akan meninggalkannya begitu cepat ? Seorang ibu yang segar, bugar, serta selalu sigap mempersiapkan sarapan untuknya setiap pagi. Anak perempuan itu pasti sangat kehilangan. Melihatnya, aku jadi sedih.
Hiks..
.
Tapi, jika saja ia ingin bertanya, bagaimana cara membuang sedih, aku pasti akan memberitahu caranya. Sayangnya, anak itu pasti takkan mengerti, karena ibu yang kini telah bersemayam di dalam tanah itulah, penyebab semua. Penyebab ibu beserta ketiga saudara kandungku raib entah kemana, membiarkanku hidup sebatang kara, tanpa keluarga. Andai gadis kecilnya tidak menahanku saat itu, mungkin aku tidak harus hidup sendiri, dan terpaksa meladeni manusia seperti mereka, yang kasar dan manja
Huh! sebal!
.
Mengerti atau tidak, kami juga punya rasa, dan merasakan sakit dan lapar. Hanya saja, kami tidak punya akal, meski ada otak di batok kepala kecil kami. Dan lihat saja, yang disebut orang gila di jalan, bukankah terlihat selalu ceria? Tertawa-tawa tiada derita, pun tanpa keluarga yang menyerta.
.
"Hey Push! ini semua gara-gara kamu, suka kencing dan be-a-be di dalam rumah, jantung ibu pasti kumat lagi karena menahan marah, hingga ibu meninggal .. "
"jitak!"
.
Aduh, berani sekali ia memukul kepalaku, dan menganggapku telah mencabut nyawa ibunya. Dasar kalian ..
.
ar, jan 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar