"Tidakkah sungguh indah semua ini?" Matamu kini terpejam, menengadah ke langit cerah, menghirup panjang akan segarnya hamparan taman bunga saat ini. Dengan senyum tersungging, kedua tanganmu merentang dengan bebasnya, seakan hendak menadah angin lembut yang hilir-mudik, berlalu-lalang diantara kita.
-
Di bawah taburan sinar mentari pagi yang keemasan, kini ku saksikan wajahmu sungguh terlihat cerah, dengan berseri dan tulus menikmati saat ini.
-
Aku mengikuti senyummu, namun bukan karena semua kesegaran yang kau kata itu, tapi karena kini ikut ku rasakan bagaimana lapangnya jiwamu.
-
"Dapatkah kita menetapi tempat ini?," Seketika matamu terbuka, menoleh cepat padaku yang masih terhanyut lembut suaramu.
-
"Kapanpun kau suka," Sontak ku palingkan wajah, menepis sorot indahmu yang entah bagaimana selalu tidak kuasa menadah pesona itu. Seakan, gelas jiwaku terlalu penuh, meluber karena terus menerima segala indah wajahmu itu. Sesaat waktu seperti berhenti bergerak.
-
"Hey!, kenapa kau terdiam?" Katamu kini sedikit tegas, dengan mata lentik yang lebih menyipit kini menyadarkan lamunanku. Baru ku sadari, ternyata jawaban tadi sebatas terucap dalam hati.
-
"InsyaAlloh, " Aku balas cepat, dengan sedikit keras kupaksakan agar tiada sesak dalam dada; Karena entah bagaimana, menghadapimu, selalu saja dada berdebar lebih cepat.
-
"Ardi, ku dengar kau seperti terpaksa menjawabnya. Ada apa?" Matamu kini berubah sayu, bersama dengan cerah wajahmu yang ikut surut. Kau sedikit menunduk, sedang aku hanya dapat terdiam.
-
"Sepertinya kau tidak terlalu yakin, dapat mengantarkanku kembali ke tempat ini" Katamu sedikit melemah, namun dalam lemahnya suaramu pun, masih ku rasakan bagaimana besarnya kekuatanmu, harapan besar itu, yang kerap membuatku selalu menerbitkan senyum sebagaimana saat ini.
-
"InsyaAlloh," Aku kembali menegaskan dengan penuh penekanan. Lalu kini kembali dapat kunikmati pemandangan indah itu; cerah cerianya wajahmu itu.
-
Lalu tiba-tiba kau tertawa kecil dengan manisnya, mendekat dan ikut terduduk di samping kananku. Sedang mataku terus saja mengunci gerak gemulaimu itu, hingga mata kita beradu, berhadapan begitu dekat; Sekarang kita benar-benar terdiam saling terpana.
-
"Tetaplah berjuang," Seketika kau memecah hening dengan tersenyum dan berbisik. Lalu, tiba-tiba kurasakan halus kedua tanganmu menggenggam tangan kananku yang sedari tadi terbasahi embun rerumputan, rerumputan menjadi alasku untuk duduk sedari tadi.
-
Kau selalu bisa menebak sebagaimana yang kurasakan, seperti pun saat ini. Hingga hanya dapat kembali membisu yang kusuguhkan kini kemata indahmu itu.
-
"Mmm, kau tahu? Aku masih saja tergigil sendiri, setiap kali kau berlalu," Sekarang ku beranikan diri memulai pengakuan, membuat diri ini seketika membuang muka. Tapi kau tetap memilih diam, mengerti dan menunggu kataku selanjutnya.
-
"Disaat ku lupa, hingga ku rasakan kau begitu jauh; Seringkali ku bertanya, bagaimana kita dapat di pertemukan seperti ini?!" Kini ku beranikan menatap langsung matamu.
-
"Entah bagaimana kita dapat di persatukan dalam hubungan seperti ini. Dimana kita adalah dua jiwa yang berlainan materialnya. Aku,-
Aku hanyalah insan lemah yang penuh alpa dan sering lupa, sedang kau jiwa citaku yang hanya terlihat dalam anganku saja. Aku, aku .." Suararaku tercekat seketika, berat meneruskan.
-
"Sssttt, tiada yang sia-sia dari kehendak sang Pencipta. Kau, hanya harus berusaha mewujudkanku lebih keras lagi. Agar semua tahu, bagaimana indahnya penyatuan ini; KehendakNya akan insan dan jiwa citanya sendiri." Katamu menyela dengan tersenyum, seiring makin kuatnya cengkraman tangan kirimu di tangan kananku.
-
"Dengar, bagaimana gema takbir kini yang memenuhi seluruh langitNya. Semua ini adalah bukti bakti perjuangan kekasihNya, kita hanya harus menyediakan kesiapan dan keyakinan. InsyaAlloh," Kau kembali berkata, lebih lirih dengan seulas senyum, sedang telapak halus tanganmu telah menutup kedua bibirku.
-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar