[^__^] Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh [^__^]

The Agent

Sejak menyentuh kulitnya tiga hari lalu, ia memang sudah begitu keriput. Dengan berjalan terhuyung, bongkok.
.
 Kata para leluhur yang kini menghilang entah kemana, ia telah cukup lama hidup menjanda, melakukan segala sesuatunya seorang diri, pun dengan usianya yang hampir seabad itu tidak juga membuatnya pikun.
.
Mak Romlah, para warga sekitar menyebutnya. Seorang perempuan renta yang begitu baik kepada anak-anak kecil yang memang sering bermain di depan rumahnya itu,  hampir setiap hari selalu menawari mereka makan siang, dan bila ada rejeki lebih, kerap pula ia memberikan kue-kue sederhana beserta segelas susu. Tapi siang ini, rumahnya sepi, tiada pula ia menyapa anak-anak kecil di halaman rumah seperti biasa, tiada ia keluar membawa makanan dan kue, bahkan hingga senja berlalu, nenek baik nan ramah itu tidak juga keluar.
.
Malam ini, Nandi, seorang anak cerdas yang paling berani sudah tidak sabar ingin bertemu dengan nenek Romlah. Dengan di temani belasan teman lainnya ia mengucap salam, ia ketuk rumah perempuan tua bersahaja itu berulang-ulang, namun rumah beliau tetap sepi. Hingga mata Nandi coba mengintip di lubang kunci pintu, ia kaget bukan kepalang, dan segera berlari pulang tanpa sepatah katapun, membuat semua temannya memburu untuk bertanya. Jika saja Nandi menceritakan semuanya, pasti anak-anak itu pun akan ikut berlari, sayang aku tak dapat berbicara pada mereka akan kejadian sebenarnya.
***
malam ini bulan purnama, cahaya remangnya sudah cukup terang menyorot ke dalam rumah bilik bambunya Nenek Romlah. Dengan penuh keluh ia terbangun, melihat seisi ruang ruang tanpa kamar tidur itu tiada yang berubah. Namun ia merasa begitu sepi, terlalu sepi malah, juga raganya begitu ringan dan segar. Hingga beranjak dari dipan kayu tanpa alas, tiba-tiba terdengar jeritan kuat, sontak ia pun segera memburu ke arah suara yang didengarnya tidak jauh.
.
"Nek Romlah bangun! bangun nek!" Jerik perempuan itu dimulut pintu kamar mandi rumahnya sendiri.
.
"Lho, nduk kamu pulang? kenapa menangis seperti itu?" Suaranya bernada kaget bercampur bahagia melihat perempuan muda dihadapannya. Tapi perempuam itu tidak mendengarnya, masih terus memunggungi, seraya memeluk seseorang yang wajahnya terhalang punggung perempuan muda itu.
.
"Maaf nek, Karin tidak pulang sebulan kemarin, maaf ..," Masih dengan menangis perempuan itu kembali bersuara.
.
"Sudahlah nduk, jangan nangis, yang penting sekarang kau pulang," Nenek Romlah kembali menyahut, tapi lagi-lagi perempuan itu tidak berbalik menjawab.
.
Sungguh mengahrukan bukan, tapi sayang aku tidak bisa bercerita banyak, karena waktu pun juga singkat, dan harus segera meletakan biang-biang yang telah penuh ku kandung sejak ku tersadar.
.
Hingga terang bulan berlalu, entah bagaimana ceritanya, karena ku lihat daging segar tengah sudah dingin menunggu, dan sudah saatnya untukku santap, lalu meletakan para mahluk mungil dalam tubuhku, terlalu mungil malah, hingga kalian mungkin tidak bisa melihatnya.
.
Meski peot, aku selalu suka daging manusia. Tidak seperti leluhurku, aku memang kelewat beruntung, beda dengan leluhurku yang menunggu saat seperti ini harus berakhir tragis, yang sebelumnya terbunuh, hancur dipukul sapu lidi, oleh tangan renta yang kini telah kuhinggapi.
.
Nah, sudah dulu ya, karena pesta akan segera dimulai.  Teman-teman telah datang satu persatu, meski jeritan perempuan cantik itu tidak kalah gaduhnya dengan cepatnya kepakan sayap-sayap bening kami.
.
ar, jan 2018

Tidak ada komentar: