[^__^] Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh [^__^]

Sabtu, 28 November 2020

KAU

Kau benar, bahkan hati lebih cepat berbolak-balik dari deru nafasku sendiri. Terkadang benci, terkadang sayang, lalu rindu, bahkan takut. Berubah-ubah, sebagaimana harfiah dasar dari kata 'qolbu'.
.
Semalam, sesaat kita bertolak dari taman kota, aku lihat seorang manusia berkostum boneka lucu, tengah duduk tertunduk seorang diri di trotoar jalan.
.
Ingin aku tanyakan padamu. Selarut ini, mengapa ia diam sendiri seperti itu?
.
Angin kota yang lembab, tentu membuat manusia boneka itu kegerahan. Mengapa tidak pulang saja? Mandi, lalu beristirahat.
.
Sebelumnya, kita juga disambangi seorang anak meminta uang. Aku diam, ingin tahu bagaimana sikapmu terhadap realitas anak-anak jalanan yang kerap dieksploitasi segelintir jagoan untuk mencari penghasilan. Kau melihatku, hanya tersenyum. Hingga kau bilang tidak punya uang kecil, Nak ... tapi ini ada makanan jika mau.
.
Kau cerdas, aku hanya tersenyum. Akan tetapi masih dapat kulihat engkau bimbang karena memang, terkadang anak-anak jalanan juga terbiasa meminta-minta karena keadaan. Siapapun yang diuntungkan, anak-anak itu hanya korban.
.
Kita menghela napas panjang, hingga beranjak memesan angkutan online.
.
Tapi tunggu, kini ada seekor kucing menyambangi, menatap, mengiba seperti menunggu sesuatu.
.
"Bolehkah aku bawa pulang kucing liar ini?"
.
Tidak, katamu. Juragan kontrakan tentu tidak ingim tiap pagi tersaji kotoran hangat didepan rumah.
.
Aku mengerti, dan hanya bisa mengelus kepala mahluk itu yang sepertinya penuh dengan borok. Kau mencegahku, lalu mengingatkan soal virus yang setahun terakhir kian menghantui hingga membuat banyak manusia mati ketakutan.
.
Takut mati ... hingga mati, tapi benarkah kehidupan yang seperti ini diinginkan?
.
Realitas mungkin saja kian memaksa kita untuk terus bergerak, karena terlalu lama berpikir artinya kelaparan. Lalu kapan perasaan mesti kita rasakan?

Bagaimana semestinya kita bersikap adil di antara realitas, nalar dan perasaan?

"Aku ngajak jalan-jalan bukan maksud membuatmu kian terkurung di dalam kamar, dan memikirkan semuanya," ucapmu, seakan mengerti keadaanku selepas menatap manusia boneka lalu.
.
Aku hanya dapat tersenyum, mengiyakan. Lalu kita kembali terdiam menatap jalanan kota panas yang ramai, yang di saat kecil sering kau tanyakan, "Semua orang itu mau kemana sih? Sibuk, tergesa, dan tanpa saling menyapa sebagai sesama manusia.
.
"Jika seorang pemimpin kelak ditanyai tentang keadaan rakyatnya, kira-kira gimana jawabnya ya?" katamu kembali, memecah keterdiaman kita berdua.
.
"Entahlah! Aku sendiri, andai saja teringat pertanyaan itu sekali saja ... dalam sehari, mungkin kini tidak menyibukan diri dalam pelarian bersamamu."
.
Kau kembali tersenyum dan berkata, "Suara hati yang lemah karena pekatnya dosa, mungkin memang harus sejenak menyepi ... agar suaranya yang lirih itu kembali terdengar. Jika ternyata kita sadari telah mati, kita dapat memohon hati yang baru, dan kembali berjuang menjalani kehidupan."

"Awal dari sebuah kegilaan, dapatkah menjadi titik awal kebahagiaan?"

Akhirnya, kita terdiam. Kembali saling merogoh jiwa dan pemikiran.
.
ar, 21 Nov 2020

Senin, 09 Maret 2020

RESENSI Rasa yang Sulit Dimengerti

--Oleh : Intaneraauthor
.
Sebelumnya, saya ingin mengucapkan selamat untuk penulis karena bagi pegiat literasi seperti kami, memiliki karya yang dibukukan merupakan berkah yang tak ternilai harganya. Selain itu, saya ingin mengingatkan bahwa terkait latar belakang saya sebagai seorang akademisi literatur, saya lebih fokus pada isi tulisan dan unsur- unsur intrinsik di dalam cerita alih-alih mengkritisi tata bahasa, tanda baca dan sebagainya. Oleh sebab itu mohon dimaklumi jika ada yang kurang berkenan dalam resensi yang saya sampaikan kali ini.
.
Salah satu guru sastra saya di masa SMA pernah menerangkan sebuah konsep bernama atavisme. Menurut KBBI, atavisme merupakan istilah untuk menyebut pemunculan kembali sesuatu yang telah lama hilang yang tidak ada pada generasi sebelumnya. Maknanya, atavisme dalam sastra merupakan bentuk di mana gaya sastra lama kembali dimunculkan pada karya sastra baru seperti mantra yang terdapat dalam puisi-puisi Subagyo Sastrowardhoyo.
.
Membaca kumpulan prosa Rasa yang Sulit Dimengeri membuat saya merasakan sensasi atavisme baik dalam diksi maupun penjabaran plot.
.
Secara pribadi, saya kurang mengetahui selera bacaan penulis namun jika saya boleh berteori, beliau dipengaruhi karya sastra era 50 atau 60 an yang banyak menyoroti kehidupan kaum pinggiran serta realita kesenjangan dalam masyarakat. Contohnya cerpen Masjid Merah Putih serta Mencemburui Senja. Penulis menyoroti bagaimana tekanan kebutuhan ekonomi seringkali menjadi alasan permisif untuk melalaikan ibadah serta bagaimana realita kecemburuan para wanita dalam sebuah keluarga poligami. Dua kasus ini merupakan sedikit dari sekian contoh isu sosial yang saat ini jarang diangkat dalam tulisan terkait meledaknya fenomena urban literature di kalangan pegiat sastra moderen. Karenanya, membaca cerpen-cerpen seperti ini bisa kembali membuka mata pembaca tentang pergolakan dalam kehidupan sosial masyarakat negara berkembang yang telah lama dilupakan.
.
Contoh atavisme lain yang saya temukan tercermin dalam cerpen Tak Sekadar Senja. Terlepas dari plot twist pada ending, gaya bahasa yang digunakan dalam cerpen berlatar medis ini mengingatkan saya akan prosa lama Iwan Simatupang yang judulnya jika bukan Perkenalan dengan Harga Diri Manusia ya Pudar Menjelang Kilau (mohon maaf saya lupa yang mana sebab dua cerita ini saya baca lebih dari lima belas tahun yang lalu :))
.
Dalam tulisan Iwan Simatupang, tersebutlah seorang dokter mata yang mencintai seorang wanita bernama Lita, yang mana kemudian meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis dan menjadi titik balik kehidupan sang dokter. Gaya penuturan tokoh 'aku' atau 'si dokter' dalam Tak Sekadar Senja entah mengapa mengingatkan saya akan gaya narasi 'sang dokter pemuja Lita'. Satu-satunya pembeda adalah twist di akhir yang mematahkan segala citra si dokter menjadi sesuatu yang berbeda.
.
Berbicara tentang twist, saya perlu mengingatkan penulis bahwa saya merupakan seorang penulis genre-genre yang lebih gelap dari Anda (thriller dan misteri) sehingga untuk yang satu ini, penilaian saya mungkin sedikit subjektif dan berpotensi membuat Anda tidak setuju. Namun seperti yang kita ketahui, fiksi yang baik adalah fiksi yang berhasil membius pembaca, bahkan jika pembaca tersebut bukan penyuka genre yang terkandung dalam tubuh si fiksi. Seperti yang saya katakan sebelumnya, atavisme dalam Rasa yang Sulit Dimengerti memang cukup menghibur namun sayang, ada sejumlah elemen kejut yang 'kurang nendang' dalam kacamata saya. Tak Sekadar Senja memang menyajikan plot yang lumayan namun sayang 'kejutan' yang digunakan merupakan kejutan yang sudah banyak digunakan dalan ribuan tulisan sejenis bahkan kisah film dan sinetron. Saya jujur saja mengharapkan sesuatu yang wah dan fresh. Ada beberapa ide dalam kepala saya namun sayang tak bisa saya kemukakan dalam resensi ini sebab bisa menimbulkan spoiler bagi orang lain.
.
Begitu pula dengan Romansa Renta yang mana seharusnya sosok si kakek bisa jadi lebih 'wah'. Pun dengan titular cerpen Rasa yang Sulit Dimengerti-nya di mana konflik yang tersuguh telah terlalu umum.
.
Satu-satunya cerpen dengan elemen kejut terbaik adalah Tai yang Jatuh dari Langit. Konflik dan antiklimaksnya menarik meski kurang berhasil membuat saya terbahak (namun lumayan tergelak). Dialognya cukup atraktif sehingga dari keseluruhan isi buku, cerpen inilah favorit saya.
.
Akhir kata saya menyampaikan bahwa untuk menikmati sore yang tenang, kumpulan prosa Rasa yang Sulit Dimengerti cukup menghibur karena konfliknya yang ringan dan santai. Terima kasih untuk penulis yang bersedia menerima kritik dan saran saya. Jika ada kata-kata yang kurang berkenan, mohon dimaafkan.
.
Salam literasi.
Rate: 💫💫💫
.
.
Peresensi adalah penulis buku Drama Vendetta, terbitan Divagroup.
Beliau dapat dihubungi melalui akun instagramnya di @intaneraauthor