[^__^] Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh [^__^]
Tampilkan postingan dengan label perasaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label perasaan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 29 Mei 2018

Menekuri Rasa


[Cerpens]
*
Hari, begitu cepat berlalu. Rona-rona senja kali ini tidak sedikitpun menghingapi kekaguman pada hati, hanya karena rasa emosi sejak malam yang tak terselesaikan, berlanjut hingga petang berlalu.
.
Emosi, mengapa harus emosi? Berkali-kali nalar telah kupaksa demi mengurai sesaknya perasaan kesal itu. Namun seakan api dalam, menghalau atau pun mengibas hanya kian menambah panas suasana. Inginnya meluap saja, bebas membakar segala, bahkan sesyahdu senja kali ini seakan merah api yang hanya kian menambah kesal. Apakah sebenarnya yang ia inginkan selain meluapkan kesal?
.
   Dingin, siapa sangka dijantung api itu ada ruang hampa yang begitu dingin? Karena api selalu melahap segala sesuatu yang lebih dingin darinya, menyerapnya demi memuaskan dahaga yang teramat panas. Bahkan terus melahap hingga raga memudar, musnah, setelah tidak kuasa melahap segala dingin titik nyala paling akhir. Api yang kecil, tentu temboloknya mudah padam. Lalu bagaimana jika api itu lebih besar dari segala kenyataan yang telah dilalui selama ini? Adakah yang sanggup melerainya? Kobaran api yang terus menyala bertahun-tahun sejak kecil hingga masa dewasa kini?
**
"Memeluknya, akan membuatmu mengeras seperti tembikar anakku," Moyang Langit akhirnya mengangkat suara dengan ketenangannya. Seraya terus melebarkan jubah serta memeluk segala material angkasa tidak membuatnya acuh terhadap sebogkah tanah bumi. Ia tetap memberi nasihat, sesempat ia mampu. "Tapi ketahuilah, ia akan selalu mencari celah untuk melepaskan hawa panasnya, maka jika saat itu tiba, ragamu akan hancur binasa, luluh lantak berkeping-keping," Kembali ia berkata, lalu mengambil jeda sejenak.
"Apakah kau siap?" Lalu kembali coba meneguhkan kesungguhan. Aku hanya dapat terdiam, tidak sanggup menjanjikan, selain menanti segala apa yang memang harus terjadi semestinya. Bersama semesta.
***
"Sederhana saja, aku ingin saling memeluk dan menyatu dengan saling, sebagaimana .." Terselip suatu sesal dari penuturannya kali ini. Namun Rembulan tetap diam saja mendengarnya, menunggu ungkapan utuh tanpa jeda. Seketika suasan begitu sepi, saling terdiam.
"Sebagaimana hawa panas api yang saling memeluk dengan dinginnya air, meski akhirnya sirna.. Namun mereka sirna karena terus memeluk, bukan menjauh,"  Lalu tiba-tiba gemercik air datang membayang. Menyapa bersama uapnya syahdu mengalun, menyisa embun pada ujung dedaunan, memburam menjadi kabut saat mentari mulai menyapa.
.
Bersama geming menyaksikan segala pergerakan angan, rupanya Rembulan terus berjalan menjauh, dengan senyap, tanpa maaf, berlalu.
.
Kini hanya dapat merasakan peluh-peluh dingin membasah kulit, bersama jilat-jilat panas dalam dada. Tapi hanya dapat termanggu, ikut bergulir bersama rantai masa, yang entah hingga kapan terus bersama.
.
"Dengarlah takbir bergema duhai pemeluk api, hari tidak selalu hitam dipergilirkan, malam selalu datang bersama penghujungnya, tidak sebagaimana siang saat semua diputuskan di Yaumul Mizan," Ia datang menggelitik dengan jari-jarinya yang hangat, memaksaku menghangat, melupakan segala beban dalam dan luarnya raga. Takbir telah bergema disetiap penjuru masa.
.
"Adakah engkau membela? Apa-apa yang menyesak dalam dada?" Ucapmu coba membuka mata, ternyata ia begitu terang, membuat segala hitam menjadi penuh warna.
.
"Bukan membela, hanya saja.. Aku tidak jauh berbeda dengan apa yang kau kandung dalam dada, hanya saja Aku berada diluar dirimu, sedang ia berada didalam dirimu. Aku tidak terikat olehmu, sedang ia terikat ragamu," Sementara merasakan senyumnya yang lembut dan hangat, aku hingga melupa segala gigil kabut dan embun yang perlahan meninggalkanku segera, mengejar panasnya.
****
"Jadi sebenarnya apa yang kau sadari Nak?" Sebuah suara bijak menyadarkanku lembut, pandangannya teduh, suaranya ramah. Kupandangi segala keadaan ternyata belumlah, dan langit masih memetakan peredaran bintang-bintang. Seraya terus bertanya,
"Jadi sebenarnya apa yang kau sadari Nak?"
.
Ar, 29052018

Sabtu, 26 Mei 2018

Mengejar Tawa


[Sebuah Cerpens]
*
Merasa jenuh hingga bosan, entah pun merasa bosan hingga jenuh, entah sejak kapan ikut masuk meriuh-rendah ke seisi ruang kepala. Membuat merasa penuh, tidak nyaman, sebagaimana seorang bocah yang berbuka melepas nafsunya dari kekangan.
.
"Tapi itulah berbuka puasa, ia berbuka terhadap apa yang ia puasai," Katanya ringan saja menetapkan hukum, demi melihat seorang bocah yang tidak kuat berdiri lagi saat sisuruh shalat magrib selepas berbuka puasa. Ia tertawa, namun anak itu menderita, sedang aku hanya mampu terdiam tak berdaya. Melawan sekian banyak penurut buta hanya akan mengantar nyawa, dan itu realita.
.
Maka aku beranjak, merasakan tidak nyaman dari holaqoh para jamaah penyembah. Eksklusif, bila boleh perasaan ini bicara. Sayang, perasaan kerap menipu. Tidak pernah bisa jadi acuan, karena perasaan bukan ukuran. "Universal harusnya," Dan kali ini giliran perasaan sendiri mengahakimi, biarlah. Soal hati sendiri entah siapa yang menggerakan bibirnya, entah pun seperti apa wujud bibir itu sendiri. Polos, tidak akan bisa menjangkau segala merah hitam dunia. Realitas.
**
Seperjalan pulang dari tajug wacana, teman-teman seperjuangan seperasaan menyapa.
.
Seakan tidak langsung memang kami seperti satu dalam ikatan emosional penderita. Merasakan bagaimana kesalnya dicampakan oleh orang-orang yang diharapkan cintanya. Seperti ayah misal, ibu, kekasih. Bebas saja, hendak kemana kau anggap siapa yang menjadi pelepas dahaga kasih itu. Hanyasaja kami sebenarnya tidak terikat dalam pencarian dalam satu tujuan; Tentang bagaimana mengenyahkan murung yang sebenarnya kami anggap sumber segala penyakit, serupa kesedihan. Hingga persaudaraan menjadi hambar, membuat bubar, saling menyelisihi dalam ego-ego setiap geng dan sekte perasaan itu sendiri. Ya, kami memang mencari tawa --bagaimana pun caranya- pun itu dengan candu, fantasi, atau membenturkan kepala demi sensasi gila.
.
Maka aku memilih sekedar menyapa saja, lalu pamit. Karena seketika perasaanku kembali bertahta. Ini tidak menyenangkan, bisiknya. Dan aku percaya.
***
Sebuah rumah akhirnya ku jejak terasnya. Sejak memasuki halamannya saja selembar selimut hangat dan cahaya perapian telah lebih dulu membayang.
.
Tapi segera kembali langkahku berbalik sejak pintunya ku buka, karena ternyata didalamnya hanya berisi duka nestapa.
.
Lihatlah! Bila kau ikut serta melangkah bersama memasukinya. Akan kita lihat tiang-tiang penyangga telah lapuk keropos, pijakan lantainya bergelombang serapuh lumpur payau, sedang dindingnya kusam terhiasi segala citra-citra bengis dan angkara. Kau pun pasti tidak ingin memasuki, kau pun pasti ingin segera keluar, karena bisa saja rumah itu akan rubuh meski dengan sapuan sinngkat angin-angin senja.
.
Tidak! Aku pasti akan menganggapmu gila, bila justru kau ingin memperbaikinya dari dalam. Dan tawa-tawa yang kucari bukan untuk melihatmu gila, atau binasa.
***
Akhirnya kita mendapati tempat yang benar-benar kita harapkan, dengan tawa-tawa renyah begitu menyenangkan. Menikmati lapangnya tiup-tiupan angin kelegaan, di bawang naungan cahaya kebahagiaan.
.
Namun sayang, perasaan itu bukan ukuran yang membuat kita lapang dalam suatu keyakinan.
.
"Tapi setidaknya kita dapat berkawan, karena itu niscaya dalam setiap perjalanan," Kau pasti akan berkata-kata seperti itu akhirnya. Baiklah, aku setuju. Maka kita harus coba baca kembali cerita ini dari awal. Dengan cara baru, dengan tanpa membubuhkan kata-kata perasaan --yang tidak pernah jadi ukuran- itu.
.
Ar, 26052018