[^__^] Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh [^__^]

Minggu, 05 Maret 2017

Tsabita (part 2)

#do'a

"Usah menangis dihadapanku, sungguh itu tidak pantas" Kau berkata lirih, wajahmu datar, tiada empati kulihat disana.

"Apa salahnya menangis? Sedang kau adalah suami, tempat berlabuh perasaan senang dan sedihku," Seketika hatiku remuk, kau menanggapi keluhanku begitu ketus.

“Hehe, jangan mentang kamu perempuan..” Kau tersenyum, membuatku jengkel. Kusadari, seorang yang kucinta tidak sepeka yang kukira.

“Lalu harus bagaimana? Aku memang seperti ini” Air mata kembali menderas, ingin sekali marah. Namun suatu perasaan aneh menahanku, dan akhirnya hanya air mata yang bicara.

“Sayangku, dengar,” Kau kembali menatapku lekat, senyum yang menyebalkan kini berubah drastis menjadi wajah penuh perhatian, penuh pengertian. Wajah yang membuatku mencintainya, semenjak kulihat sejak pertama kali kau meminangku bulan lalu.

“Menurutmu aku mesti bagaimana? Apa aku mesti sekuat Sang Pencipta takdir? Hingga ku meluluskan perasaanmu untuk mengomentari takdirNya yang tidak sepenuhnya kita mengerti?” Kau menatapku lebih tajam, menunggu ku membalas. Namun kataku tercekat, tidak menyangka ia berpikir sejauh itu.

“Kau tidak layak mengaduh seperti itu dihadapanku, sedang malam-malam penuh barakah dilewatkan begitu saja tanpa meronta dalam doa-doa tulus padaNya. Siapakah yang lebih layak untuk tempat mengaduh menurutmu? Bagaimanapun kau berkeluh kesah dihadapanku, aku tetap tiada daya merubah semuanya..” Lirih suaramu, namun terasa keras menampar langsung ke ulu hati. Aku makin tercekat, hanya ingin diam, menunggumu menjelaskan lebih lanjut.

“Sayang, apakah kau lupa? Tempo hari kau bercerita, bahwa kau hamper saja meninggal tenggelam saat mandi dan tercebur ke kobakan mata air yang dalam,”-

“Katamu saat itu masih sangat kecil, sekitar berumur empat atau lima tahun. Kau mengingat bagaimana terjebur dan tenggelam, kau ingat bagaimana air tertelan begitu banyak, lalu semua pandangmu gelap. Namun tiba-tiba, kau merasakan ada tangan kuat menarikmu dari dasar kolam mata air, namun tidak kau jumpai seorangpun disana.”-

“Lalu siapa yang menolongmu? Bukankah itu pertanyaan kita saat itu?”

“Entahlah?” Seketika ku menjawab begitu saja, sebagaimana kau menanggapi saat ku pertama kali menceritakan pengalaman ajaib itu pertama kali. Kini kuingat kembali, saat itu kau hanya tersenyum saja menanggapi ceritaku. Seakan biasa, tidak seajaib yang kurasakan.

“Lalu, kau pun pernah bercerita. Bagaimana orang tuamu begitu memanjakanmu, karena kau anak gadis satu-satunya setelah sebelumnya empat kakakmu meninggal dunia"-

"Ada doa yang selalu menyerta dalam sujud-sujud panjang kedua orang tua kita, yang mungkin kita sering lupakan. Lalu saat mereka berlaku yang kita rasa menyelisihi keinginan, kita serta merta melupakan mereka. Padahal, mungkin saja, keberadaan kita adalah buah do'a-do'a mereka, hingga Sang Pencipta menghendaki kita tetap hidup hingga sekarang"-

"Disaat banyak bayi-bayi meninggal karena peperangan panjang, kita diselamatkan hingga saat ini. Akankah kita ingat mensyukurinya?"-

"Kau tahu? aku selalu ingat. Bagaimana ibunda bercerita. Dengan penuh semangat semangat beliau mulai bertutur; "Dulu, saat ibu tengaj asyik mencuci pakaian. Tanpa disadari anak bayinya tengah merangkak menuju tumpukan bebatuan yang akan dijadikan bahan pondasi untuk mendirikan rumah. Tiba-tiba seorang nenek tetangga berteriak histeris, ternyata bayinya yang belum berusia dua tahun tertimbun bebatuan tadi, ukurannya cukup besar. Harusnya aku mati tertimbun, namun ajaib. Aku selamat tanpa segores lukapun, bahkan tanpa bekas."-

"Lalu siapakah yang menahan bebatuan berat itu?"-

"Atau kisah masa kecil teman main saat ku kecil, dimana ibunya begitu kaget telag menemukan ulat tanduk yang mati di berak anak bayinya. Bukankah ajaib? Bila seorang bayi tidak sakit sedikitpun, sedang sebelumnya seorang bayi memakan ulat tanduk yang berukuran sebesar ibu jari dewasa, dengan bulu tajam sekeras injuk,"-

"Siapa yang menjaga keselamatan kita semua? Adakah layak kita mencela masa yang tlah berlalu, seakan Alloh tidak pernah mengehendaki kebaikan sekalipun terhadap kita? Bahkan Ia selalu Maha Penyayang, selalu Maha Pengasih, meski tiada manusia yang mengetahuinya"

"Dengan terjadinya kejadian itu, selain mengingatkan kita pada Sang Pengawas hidup. Kejadian itupun menjadi peringatan keras, bahwa anak adalah amanh dari-Nya. Dimana sangat diperlukan kesungguhan merawat dan menjaganya"

"Bukan masalah yang kurisaukan sayang, tapi layak kah kita untuk senantiasa ditolongNya? Bahkan hingga kita berada di mahsyar,"

"Orang tua kita telah berhasil menjaga amanah ituini, hingga kita menikah seperti sekarang ini. Tapi kita? Jangankan amanah keturunan, amanah syukur terhadap diri sendiripum masih serba lupa. Lalu bagaimana bila nanti saat kita berketurunan? Kemana anak-anak kita akan menemukan figur pertama untuk hidupnya? Hingga saatnya mereka menemukan figur terbaik dalam hidupnya, inginkah kita siap sedia untuk tampil mengisi kekosongan itu?"

"Bukankah kita menikah, ingin sehidup sesyurga?" Kau kini nampak tersenyum, sedang kataku makin teekunci. Nampaklah kini semua, betapa aku pelupa akan nikmat pada Pencipta kita.

#Tsabita, sebuah do'a Ibu.

Tidak ada komentar: