16. Ratap Redup Kenyataan
Wajah-wajah menelisik, telik, penuh curiga, ketika dirinya perlahan melajukan sepeda motornya ke dalam gang sebuah perkampungan kota lama selepas gerimis. Banyak para pemuda bergerombol sekedar duduk-duduk di pinggir-pinggir jalan yang gang yang sempit, membuat lelaki itu melambat, seraya membungkuk permisi. Namun tidak ada seorang pun yang membalas salam, selain menatap tajam tanpa suara. Ardhi berpikir sebegitu kerasnya bertahan hidup diperkotaan, hingga memaklumi jika para penduduknya mengukir muram penuh curiga, yang hampir memahat wajah sebagian besar para penduduknya, rumah-rumah sempit yang berhimpitan mungkin turut menyesakinya pula. Namun ia terus coba memaksa berseri setiap melewati sekelompok orang itu saat berpapasan, kali ini Ardhi tidak lagi mengucap salam ataupun permisi, karena pikir Ardhi norma kesopanan tidak berlaku disini. “Apa mata uang yang berlaku disini selain kekayaan?” Sambutnya dalam hati. Kadang sepeda motor yang memapasi dari arah berlawanan ikut menyesaki, memaksa ia makin menepikan kendaraan rampingnya itu dengan kaki berjinjit, menghindar keciprak air yang menggenang terlindas roda-rodanya. Hingga senja nan berawan kian meredup, sayup-sayup puji-pujian pada Sang Pencipta terdengar melagu memenuhi tiap penjuru, meredam segala hiruk pikuk cekikikkan para pemuda yang telah dilaluinya, juga celoteh ibu-ibu yang sempat ia dengar tengah bergosip akan urusan yang jauh dari kepentingan dirinya sendiri; seperti kehidupan glamor para artis, kisah haru tokoh fiksi sinetron, ataupun kata-kata humor bersemi cabul tentang para lelaki di rumahnya. Ardhi ingin mempercepat putaran kedua roda sepeda motornya, tapi tidak bisa.
Lagi-lagi Ardhi tidak langsung pulang menuju rumahnya sendiri. Sejak Airin mengabarinya untuk berhenti bekerja di losmen merah, pemuda itu langsung berpikir untuk terus mendukungnya. Meski tidak memahami jelas, apa yang melandasi Airin untuk mengambil langkah besar itu. Hati Ardhi yang rapuh seakan terpana, cemburu, berpikir-pikir, “bagaimana wanita itu mendapat gairah positif dalam hidup?” Airin memang telah mengakui segalanya, mengaku cukup lama hidup di lembah hitam protitusi. Lalu dirinya kembali mengingat pesan tempo hari yang ia terima sendiri melalui ponselnya,
Wajah-wajah menelisik, telik, penuh curiga, ketika dirinya perlahan melajukan sepeda motornya ke dalam gang sebuah perkampungan kota lama selepas gerimis. Banyak para pemuda bergerombol sekedar duduk-duduk di pinggir-pinggir jalan yang gang yang sempit, membuat lelaki itu melambat, seraya membungkuk permisi. Namun tidak ada seorang pun yang membalas salam, selain menatap tajam tanpa suara. Ardhi berpikir sebegitu kerasnya bertahan hidup diperkotaan, hingga memaklumi jika para penduduknya mengukir muram penuh curiga, yang hampir memahat wajah sebagian besar para penduduknya, rumah-rumah sempit yang berhimpitan mungkin turut menyesakinya pula. Namun ia terus coba memaksa berseri setiap melewati sekelompok orang itu saat berpapasan, kali ini Ardhi tidak lagi mengucap salam ataupun permisi, karena pikir Ardhi norma kesopanan tidak berlaku disini. “Apa mata uang yang berlaku disini selain kekayaan?” Sambutnya dalam hati. Kadang sepeda motor yang memapasi dari arah berlawanan ikut menyesaki, memaksa ia makin menepikan kendaraan rampingnya itu dengan kaki berjinjit, menghindar keciprak air yang menggenang terlindas roda-rodanya. Hingga senja nan berawan kian meredup, sayup-sayup puji-pujian pada Sang Pencipta terdengar melagu memenuhi tiap penjuru, meredam segala hiruk pikuk cekikikkan para pemuda yang telah dilaluinya, juga celoteh ibu-ibu yang sempat ia dengar tengah bergosip akan urusan yang jauh dari kepentingan dirinya sendiri; seperti kehidupan glamor para artis, kisah haru tokoh fiksi sinetron, ataupun kata-kata humor bersemi cabul tentang para lelaki di rumahnya. Ardhi ingin mempercepat putaran kedua roda sepeda motornya, tapi tidak bisa.
Lagi-lagi Ardhi tidak langsung pulang menuju rumahnya sendiri. Sejak Airin mengabarinya untuk berhenti bekerja di losmen merah, pemuda itu langsung berpikir untuk terus mendukungnya. Meski tidak memahami jelas, apa yang melandasi Airin untuk mengambil langkah besar itu. Hati Ardhi yang rapuh seakan terpana, cemburu, berpikir-pikir, “bagaimana wanita itu mendapat gairah positif dalam hidup?” Airin memang telah mengakui segalanya, mengaku cukup lama hidup di lembah hitam protitusi. Lalu dirinya kembali mengingat pesan tempo hari yang ia terima sendiri melalui ponselnya,
[“Bagaimanapun aku tetap perempuan Dhi, yang kelak ingin menjadi seorang ibu baik-baik bagi anak-anaknya,”]
--Ardhi mengingat lagi bagaimana Airin mengirimkan pesan cukup panjang, mengapa ia mengutarakan semua harapan itu pada dirinya? Lelaki yang belum lama dikenalnya? Ah mungkin ia tidak berani untuk pulang ke kampung halaman orang tuanya, karena lain hal sebab yang tidak ku ketahui bagiamana semua itu, dan ia telah bulat untuk memastikan sendiri kebenarannya. Hingga Adzan magrib berkumandang, pikiran itu baru tersita untuk mencari mushola, “semoga tidak terlalu malam untuk bertemu,” Batinnya berbisik. Lalu kedua matanya kembali melihat alamat lengkap tempat tinggal Airin yang baru kemarin ia terima di layar pesan ponsel, “harusnya sebentar lagi sampai,” batinnya kembali berbisik.
***
Malam bermula, hatinya terasa mekar sejak mendapati balasan pesan dari Ardhi. Dirinya makin merasa yakin bahwa Ardhi menyimpan hati untuknya, yang terlihat dari pandangan matanya, dari senyum canggungnya, dari nasehat yang kakunya, juga dari bisikan hatinya sendiri yang kian hari makin merasakan rindu akan kata-katanya; meski tidak sepenuhnya ia mengerti maksudnya, tapi ia merasa bahagia saat laki-laki itu berkata-kata padanya. Diam-diam hatinya berharap lelaki itu mau menemani sisa hidupnya, hingga kalimat dari lelaki itu dapat dihafalnya dengan jelas, “perempuan boleh lebih dulu menawarkan diri untuk dinikahi, karena itu suatu urusan ibadah, dan itu berpahala, karena jika kita menawarkan sesuatu keburukan itu dosa,”. Airin tersenyum sendiri, meski ia sendiri lupa; bagaimana hingga dirinya membicarakan berbagai hal tentang pernikan lebih jauh dengan Ardhi.
“TOK TOK TOK”
***
Malam bermula, hatinya terasa mekar sejak mendapati balasan pesan dari Ardhi. Dirinya makin merasa yakin bahwa Ardhi menyimpan hati untuknya, yang terlihat dari pandangan matanya, dari senyum canggungnya, dari nasehat yang kakunya, juga dari bisikan hatinya sendiri yang kian hari makin merasakan rindu akan kata-katanya; meski tidak sepenuhnya ia mengerti maksudnya, tapi ia merasa bahagia saat laki-laki itu berkata-kata padanya. Diam-diam hatinya berharap lelaki itu mau menemani sisa hidupnya, hingga kalimat dari lelaki itu dapat dihafalnya dengan jelas, “perempuan boleh lebih dulu menawarkan diri untuk dinikahi, karena itu suatu urusan ibadah, dan itu berpahala, karena jika kita menawarkan sesuatu keburukan itu dosa,”. Airin tersenyum sendiri, meski ia sendiri lupa; bagaimana hingga dirinya membicarakan berbagai hal tentang pernikan lebih jauh dengan Ardhi.
“TOK TOK TOK”
Terdengar ketukan singkat didepan pintu kontrakannya. Mendengarnya, Airin segera melipat mukena yang ia kenakan, lalu segera merapihkan pakaiannya untuk membuka pintu. Pasti Ardhi, pikirnya. Airin dengan cepat beranjak setelah cepat-cepat menjulurkan jilbab dan kerudung yang belum lama ia beli.
“Ah Airin, ternyata benar kau tinggal disini,” Airin terlonjak demi dilihatnya siapa yang telah berdiri setelah membuka pintu. Segera ia tutup kembali, namun tidak bisa. Tangan itu telah lebih dulu mendorongnya ke dalam petak kontrakan dengan keras. Airin terjengkang, seketika saja ia merasa takut hingga tidak berteriak. Jiwanya terhenyak, mulut dan kedua mata dirasa kaku, merasakan kejadian terburuk akan segera menimpa. Seketika ketakutan memenuhi Airin. Tidak ada yang menolong Airin, setiap orang yang hilir mudik di depan pintu tak acuh kecuali menoleh dengan bergidik; melihat lelaki tegap itu masuk dan dengan cepat menutup pintu.
***
#kerlip-kerlip harapan
Ar, 29 Sep. 17
“Ah Airin, ternyata benar kau tinggal disini,” Airin terlonjak demi dilihatnya siapa yang telah berdiri setelah membuka pintu. Segera ia tutup kembali, namun tidak bisa. Tangan itu telah lebih dulu mendorongnya ke dalam petak kontrakan dengan keras. Airin terjengkang, seketika saja ia merasa takut hingga tidak berteriak. Jiwanya terhenyak, mulut dan kedua mata dirasa kaku, merasakan kejadian terburuk akan segera menimpa. Seketika ketakutan memenuhi Airin. Tidak ada yang menolong Airin, setiap orang yang hilir mudik di depan pintu tak acuh kecuali menoleh dengan bergidik; melihat lelaki tegap itu masuk dan dengan cepat menutup pintu.
***
#kerlip-kerlip harapan
Ar, 29 Sep. 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar