3. Gerah Musim Penghujan
Hujan baru saja berlalu. Ketika
mentari terbenam bersama cahaya benderangnya, segeralah malam mengambil alih
bersama rembulan dan gemintangnya. Awan-awan mendung segera tersapu angin,
hanya sekian menit saja mendung gelap menurunkan airnya. Musim penghujan kali
ini membuat Aldi resah. Karena musim kali ini, dirasakannya tidak menentu
–sebagaimana musim penghujan tahun lalu—yang biasanya menderas hampir sepanjang
siang, atau bahkan hingga malam.
Aldi termenung, benar-benar tak
habis pikir, tentang keanehan musim penghujan kali ini. Namun Fatimah –yang kini
tengah duduk disebelahnya—jauh lebih heran dengan sifat suaminya yang jadi
senang menyendiri. Bahkan terkesan asosial, pikir Fatimah. Mnurutnya, kini Aldi
bukan lagi seperti lelaki yang dikenal sebelumnya, bukan lagi lelaki yang mempunyai
langkah panjang, yang senang bergaul dengan pekerjaannya yang dinamis,dengan segala
tantangannya. Bahkan lelaki disampingnya itu terlihat seperti seorang prajurit
yang kalah dan lari dari medan perang, karena takut dan trauma. Fatimah ingin
mengutarakan segala keganjilan pandangannya, namun hatinya yang perasa terlalu
takut untuk menyinggung perasaan lelaki yang telah menjadi suaminya itu.
Seiring pertanyaan besar yang kian bertambah dalam dirinya, ia sekuat tenaga menguatkan
hati untuk tetap diam. Fatimah jadi membatin sendiri.
“Fatin lihat! Tunas-tunas cabe
itu begitu segar meski dengan sesingkat hujan sare tadi,” Aldi berseru,
berusaha membesarkan hatinya sendiri, hingga membuyarkan ketermenungan Fatimah
di sampingnya. Istrinya disampingnya itu segera menoleh, memperhatikan wajah
Aldi yang sebenarnya tidak menoleh sejak memanggilnya. Fatimah menarik napas
panjang, lalu kembali melemparkan pandang ke arah yang tengah dipandangi
dipandangi suaminya.
“Iya Bang, alhamdulillah,” Jawab
Fatimah datar --nyaris selirih bisikan untuk dirinya sendiri--, namun Aldi
masih dapat mendengarnya dengan jelas, hingga membuat lelaki itu menoleh.
“Ada apa?” Aldi langsung
memastikan. Tangannya langsung membuang lintingan tembakau yang hampir
menyengat jari-jemari dengan bara di ujungnya. Lalu dengan segera lelaki itu merapatkan
diri ke arah istrinya yang masih termenung.
“Nggak ada apa-apa Bang,” Jawab
Fatimah cepat, lalu kembali melemparkan pandangannya ke tengah kebun, setelah
sebelumnya membalas tatapan suaminya dengan tersenyum. Tapi Aldi menangkap
wajah istrinya itu seperti acuh tak acuh. Sepasang suami istri kini saling
mendiamkan, seakan mengijinkan segala suara-suara malam mengambil alih. Tapi
Aldi tidak membiarkannya lama.
“Fatim! Malam kian larut, yuk
masuk!?” Seketika Aldi memecah keheningan
dengan istrinya seraya berdiri,
sedang tangan kanannya telah memegangi pergelangan kiri Fatimah dengan hangat. Demi
melihat suatu isyarat di wajah suaminya, fatimah segera ikut berdiri hingga
memasuki rumah. Setelah mengantar Fatimah ke dalam kamar, Aldi segera mengunci
segala pintu dan jendela, mematikan segala lampu yang berpijar –kecuali teras
dan kamar mandi--. Aldi pikir, kini istrinya mempunyai hajat yang--dengan kebanyakan
pembawaan khas seorang wanita— akan terlalu malu ----jika dirinya harus
berbicara lebih dulu--.
***
Fatimah
melihat jarum jam di dinding masih berjarak setengah jam lagi menuju adzan subuh.
Namun dirinya segera melangkah memasuki jamban, guna melarutkan letih tubuhnya
yang begitu sangat. Terlebih pikirannya. Segera ia meraih air bak dengan
gayung, setelah pintu kamar mandi ia kunci dari dalam.
“Kamu
benar Fatimah! Abang memang melarikan diri dengan berkebun, lalu mau apa?!”
Terpejam mata fatimah demi teringat nada keras suaminya beberapa jam sbelumnya,
lalu segera ia mengguyurkan segayung air di tangan ke atas kepalanya.
“Nggak
Bang, Fatim nggak nggak kenal Abang yang seperti itu, Abang biasanya tangguh
dan menyukai tantangan pekerjaan yang ada,”
“Entahlah
Fatim, Abang merasa sangat rapuh, dan pekerjaan disana bukan tantangan yang
harus dihadapi, tapi suasana yang harus dijauhi,”.
“Bagaimana
bisa Abang merasa rapuh? Ingat Bang, kita telah dititipi anak-anak yang segera
beranjak dewasa, yang biaya pendidikan dan kebutuhannya nya kain besar! kita
tidak bisa terus sepeti ini Bang?!”
“Cukup
fatimah! Abang mohon!”
Meski
telah begayung-gayung air membasahi tubuhnya, air mata Fatimah kian menderas,
terus terngiang pertengkaran semalam meski berdebat sengit selirih bisik angin,
terlebih saat mengingat wajah dan matanya suaminya saat memohon. Fatimah
benar-benar melihat jiwa suaminya itu kini begitu menyedihkan. “Raga perkasa pun
jadi begitu menyedihkan, jika jiwa telah kalah,” Fatimah membatin dengan terus
mengguyurkan air hingga bak penampungan didekatnya kering.
.
#panggilangila
Ar, 12 Okt. 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar