7. Basah Kuyup Diwajahi Hujan.
"Ckiiittt! JEDERR!!"
Pohon besar nan rindang yang sebelumnya berdiri kuat, tiba-tiba tumbang menimpa sebuah sedan mewah yang tengah melintas pelan dibawahnya. Tidak jauh dari peristiwa naas itu, seorang pemuda terhenyak, seperti hilang akal.
Hujan dirasa makin lebat bercampur angin ribut, membuat arus lalu lintas di jalur lambat kini tidak dapat bergerak sedikitpun.
Banyak orang berkerumun ke asal kejadian naas itu, hingga banyak orang mulai berdatangan berusaha menyelamatkan korban dari dalam mobil korban, sedang Ardhi malah terdiam, terlalu panik untuk ikut berjibaku, menolong langsung seperti yang lainnya, hingga mematung beberapa menit, membiarkan hujan membasahi sekujur badannya yang ringkih.
"Adakah yang lebih pasti dalam hidup ini selain kematian?" Mata Ardhi melihat jauh ke tengah kerumunan manusia yang bertambah banyak mengerumuni korban.
Ardhi menggigil, namun bukan karena kedinginan dengan pakaiannya yang basah, tapi karena merasa semua pohon rindang yang dilihatnya kini berubah jadi ancaman. Berkali-kali kepala Ardhi mendongak kelangit dengan diam.
"Datangnya musibah memang tidak bisa diterka,"
Seketika Ardhi menoleh ke asal sumber suara ,lalu dirinya mengangguk dengan memaksakan senyum, meski hatinya penuh kekacauan. Terlihat kini ada seorang tua disamping kanan Ardhi, ikut berdiri, memandang lurus ketengah kerumunan orang. Belum nampak petugas medis maupun pihak aparat lalulintas, selain para warga sekitar yang mulai menggunakan berbagai perkakas tradisional yang ada untuk segera memecah pohon yang tumbang agar korban dapat segera dievakuasi.
"Kemarin, ada yang meninggal saat mendorong gerobak sayuran, dan seminggu sebelumnya, seorang pengayuh becak meninggal saat begitu lahap menyantap mie instan," Suara pria tua itu kembali meneruskan dengan lirih tapi begitu jelas di telinga Ardhi, hingga membuatnya menoleh.
"Saya juga pernah lihat di internet, seorang pemain bola tiba-tiba salto, lalu tidak lama meregang nyawa di tengah pertandingan," Ardhi seketika menambahkan, tiba-tiba bathinnya meluap mengingati misteri kematian yang diingatnya.
"Ya semua yang bernyawa memang akan mati, semua terus mendekati tempat dan waktu yang telah ditentukan untuk merasakan sakaratul maut," Giliran pria tua itu kini memandangi Ardhi, membuat yang ditatapnya tidak kuasa beradu pandang. Ardhi reflek membuang muka, kembali melarikan pandang ke arah terjadinya kecelakaan.
"Bila mengingat hidup hanyalah saat-saat dicabut nyawa, bagaimana seseorang akan bergairah membangun kehidupannya?" Ardhi merasakan kuatnya kata-kata dari sosok sepuh disampingnya, hingga seketika kembali menoleh karena ingin bertanya. Tapi Ardhi terhenyak sendiri, karena dilihatnya, sosok tua itu kini raib entah kemana.
Sekujur tubuh Adhi makin kaku dan dingin diguyur air dari langit.
#kerlip-kerlip harapan
ar, 12sept2017
"Ckiiittt! JEDERR!!"
Pohon besar nan rindang yang sebelumnya berdiri kuat, tiba-tiba tumbang menimpa sebuah sedan mewah yang tengah melintas pelan dibawahnya. Tidak jauh dari peristiwa naas itu, seorang pemuda terhenyak, seperti hilang akal.
Hujan dirasa makin lebat bercampur angin ribut, membuat arus lalu lintas di jalur lambat kini tidak dapat bergerak sedikitpun.
Banyak orang berkerumun ke asal kejadian naas itu, hingga banyak orang mulai berdatangan berusaha menyelamatkan korban dari dalam mobil korban, sedang Ardhi malah terdiam, terlalu panik untuk ikut berjibaku, menolong langsung seperti yang lainnya, hingga mematung beberapa menit, membiarkan hujan membasahi sekujur badannya yang ringkih.
"Adakah yang lebih pasti dalam hidup ini selain kematian?" Mata Ardhi melihat jauh ke tengah kerumunan manusia yang bertambah banyak mengerumuni korban.
Ardhi menggigil, namun bukan karena kedinginan dengan pakaiannya yang basah, tapi karena merasa semua pohon rindang yang dilihatnya kini berubah jadi ancaman. Berkali-kali kepala Ardhi mendongak kelangit dengan diam.
"Datangnya musibah memang tidak bisa diterka,"
Seketika Ardhi menoleh ke asal sumber suara ,lalu dirinya mengangguk dengan memaksakan senyum, meski hatinya penuh kekacauan. Terlihat kini ada seorang tua disamping kanan Ardhi, ikut berdiri, memandang lurus ketengah kerumunan orang. Belum nampak petugas medis maupun pihak aparat lalulintas, selain para warga sekitar yang mulai menggunakan berbagai perkakas tradisional yang ada untuk segera memecah pohon yang tumbang agar korban dapat segera dievakuasi.
"Kemarin, ada yang meninggal saat mendorong gerobak sayuran, dan seminggu sebelumnya, seorang pengayuh becak meninggal saat begitu lahap menyantap mie instan," Suara pria tua itu kembali meneruskan dengan lirih tapi begitu jelas di telinga Ardhi, hingga membuatnya menoleh.
"Saya juga pernah lihat di internet, seorang pemain bola tiba-tiba salto, lalu tidak lama meregang nyawa di tengah pertandingan," Ardhi seketika menambahkan, tiba-tiba bathinnya meluap mengingati misteri kematian yang diingatnya.
"Ya semua yang bernyawa memang akan mati, semua terus mendekati tempat dan waktu yang telah ditentukan untuk merasakan sakaratul maut," Giliran pria tua itu kini memandangi Ardhi, membuat yang ditatapnya tidak kuasa beradu pandang. Ardhi reflek membuang muka, kembali melarikan pandang ke arah terjadinya kecelakaan.
"Bila mengingat hidup hanyalah saat-saat dicabut nyawa, bagaimana seseorang akan bergairah membangun kehidupannya?" Ardhi merasakan kuatnya kata-kata dari sosok sepuh disampingnya, hingga seketika kembali menoleh karena ingin bertanya. Tapi Ardhi terhenyak sendiri, karena dilihatnya, sosok tua itu kini raib entah kemana.
Sekujur tubuh Adhi makin kaku dan dingin diguyur air dari langit.
#kerlip-kerlip harapan
ar, 12sept2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar