Terdengar lagi, sebuah teriakan dengan tawa menggelegar di kebun belakang rumah. Demi mendengarnya, Fatimah tergopoh menemui suaminya. Dirinya bingung, karena setiap kali ditemuinya, kini suaminya itu malah memandangnya nyalang. Tiada lagi mata teduh itu, mata yang kerap membuat Fatimah nyaman. Tidak terlihat binar matanya dari suaminya, mata yang membuat selalu merasa di cintai. Fatimah rasakan, mata suaminya itu kini terlihat asing, mata yang memandang penuh amarah dan kekesalan. Bahkan tertawa dan bicaranya tidak lagi lembut, apalagi selembut rayu-rayuan manisnya yang kerap membuat wajah Fatimah merona. “Tiada lagi Bang Aldi yang dulu,” pikir Fatimah, “tiada lagi,”.
Setelah hampir seharian Fatimah mengerjakan
maklunan order jahit, pekerjaanya yang kian menggunung itu. Malamnya pun ia
harus sering-sering terjaga, karena mendengar teriakan suaminya yang tiba-tiba.
Meracau tidak menentu, hingga membuatnya takut. “Tapi Bang Aldi tidak gila, ya!
Bukan gila! Hanya mungkin sedikit depresi saja,” Fatimah menguatkan hatinya
sendiri. Lalu bila dirinya telah membatin demikian rupa, gerimislah hatinya,
dan hanya mampu memandanginya dari jauh.
Fatimah lihat, suaminya masih
terduduk di tepi kebun, padahal malam telah kian larut. Tubuh lelaki itu kian
ringkih, hingga membuat wajahnya terlihat sepuluh tahun lebih tua. Dan yang
paling menyedihkan adalah kebiasaan barunya yang jarang mandi dan mengganti
pakaian, bahkan pernah hingga seminggu tidak terkena air, selain air wudhu dan cebok setelah buang air besar dan kecil.
“Setidaknya masih shalat,” Fatimah
kembali menguatkan hatinya. Tapi diam-diam, Fatimah sebenarnya terlalu takut,
perempuan itu syok. Dan ketika
dirinya telah begitu dekat, makin bertambahlah rasa takutnya itu.
“Neng, kenapa bengong begitu?”
Fatimah mencelos, betapa kini lelaki itu telah berubah kembali suaranya. “Benarkah suara tawa tadi yang didengarnya
itu suara suaminya?”, batin Fatimah kembali bingung. Bahkan ketakutannya
justru bertambah, “benarkah suara tawa keras tadi itu suara suaminya?”.
“Kebetulan, tolong buatin lagi kopi ya
Neng?!”
Setelah
perintah itu Fatimah lihat meluncur langsung dari mulut suaminya, segera saja
ia negloyor ke dapur. Fatimah langsung menyalakan tungku, dan memanaskan air. Menungkan
kopi tubruk kedalam panci setelah air di atas tungku kayu itu mendidih, lalu
menyiapkan gelas bersih beserta sesendok gula, untuk menerima tuangan kopi yang
telah matang. Masih terlalu gugup wanita itu, tidak berani bertanya, “mengapa meminta kembali kopi panas di malam
yang kian larut? Begadang lagi? Oh tidak, setidaknya Bang Aldi telah berbicara
dengan nadanya semula,” nada bicara yang lembut tadi sudah harus membuat
Fatimah banyak-banyak bersyukur. Dan rasa syukurnya itu, telah membuatnya lupa akan
ingatan mata nyalang dan penuh amarah sebelumnya.
Fatimah
menghela panjang, menunggui air hingga mendidih di hadapannya. Kembali
mengingat, akan perdebatan terakhir dengan suaminya itu. Perdebatan lirih
diatas ranjang, setelah mereka bercampur badan malam itu. Dan selalu saja
Fatimah tidak menemukan titik temu dengan keputusan suaminya itu. Keputusan
yang lebih memilih berkebun, meski dengan penghasilan jauh lebih rendah
beberapa kali lipat dari pekerjaan sebagai mandor proyek saat suaminya itu
bekerja merantau di ibukota. Dan Fatimah sungguh tidak mengerti.
Yang diingat
Fatimah dari penjelasan suaminya itu, hanya karena lingkungan kerja disana yang
tidak baik. “Tidak baik bagaimana?
Bukankah yang terpenting diri kita tidak ikut terbawa buruk?” Sekali lagi
Fatimah tidak mengerti, bahkan hingga saat mandi besar setelah perdebatan itu
menghabiskan air satu bak pun, Fatimah tidak mengerti –padahal sangat ingin
mengerti—dan setiap kali memikirkannya, Fatimah malah merasa pening.
“Abah kenapa
Mak?” Fatimah tersentak, karena tanpa ia sadari anak sulungnya telah
menggerak-gerakan lengannya dengan tidak sabar. Tapi Fatimah tidak menjawab,
hanya tersenyum –cepat-cepat mengenyahkan segala khawatir dan bingung
dirinya--, “eh Ramdan kok bangun?”
Fatimah malah balas bertanya. Tapi Ramdan, anak sulunya yang beranjak dewasa
itu telah mengerti, dan dirinya tidak ingin menanyakan perihal ayahnya itu
lebih jauh. “Airnya udah mendidih Mak,”
Dalih Ramdan mengingatkan.
***
Malam kian
larut, tapi sedikitpun Aldi tidak menyadarinya. Kadang ia berteriak dan tertawa-tawa,
kadang terdiam dengan takzim demi mendengar segala uraian seorang lelaki paruh
baya yang baru dikenalnya itu.
>>>
Untuk cerita selanjutnya, mohon doakan bukunya segera terbit ya?
Terima kasih ^_^
Untuk cerita selanjutnya, mohon doakan bukunya segera terbit ya?
Terima kasih ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar