6. Teman
Bila mencinta kepada orang yang salah adalah suatu dosa, maka tiada seorang pun yang luput dari terpaannya. Karena dosa bagai putik bunga dendalion yang lembut, ringan tersapu angin, menyebar kesegala penjuru arah angin, kadang mengenai topi lusuh para pengemis, mengenai peci bersihnya ulama, kerap menempeli jas kehormatan seorang pejabat tinggi negara, atau rompi anti peluru seorang prajurit, sering pula menyesaki cerita dusta para penulis, hingga memenuhi mulut indah rayu-rayuan indah para penjual.
Tapi, benarkah mencintai seperti itu? dimana debarannya menjadi petaka, menampar-nampar logika para cerdik pandai, membuai angan para tawanan, hingga merubah idealitas para pejuang?
"Mencintai bagi kita itu petaka!" Kata-kata Momi, terus bergema dalam kepala Airin. Membuatnya menggeleng sendiri, karena nalarnya sendiri tidak bisa mematikan perasaan yang mulai terasa, mulai tumbuh tanpa terduga. Anggapannya terpatahkan sendiri, jika cinta telah mati sejak seorang lelaki bejat itu merenggut keperawanannya dengan paksa, hingga membuatnya begitu takut dan malu untuk pulang.
Pikiran Airin mengawang kian kemari, sedang kedua matanya layu memandangi jalan raya di balik daun jendela yang memperlihatkan derasnya hujan senja.
Hujan memang kian menderas mengguyur kota. Dalam riuhnya gempuran air dari langit, Airin sejenak merasa tenang, yang tanpa suara manusia, tanpa bising deru mesin pengguna jalan raya yang biasa terdengar di sebarang kamarnya sebelum malam larut. Hati Airin teralihkan oleh decak tetes-tetes air hujan ini, namun suasana hujan disaat senja ini pun kembali mengingatkannya pada seorang pria berambut ikal, pria yang diam-diam telah mengisi angannya sejak minggu-minggu terakhir.
Tiba-tiba Airin merasakan rindu teramat sangat pada abahnya, pada wejangan-wejangan lembut yang kerap ia dengarkan selepas isya saat di kampung.
"Tapi, apakah abah dapat menerima keadaan dirinya saat ini? setelah sekian lama anaknya kabur dari rumah penuh murka? ah abah, pasti tidak mengerti mengapa anaknya sangat murka saat itu," Airin merasakan pedihnya penyesalan. Penyesalan yang akhirnya terasa begitu menyayat sejak Ardhi datang dan menghilangkan segala nikmatnya pelarian di losmen yang kini ditempatinya.
"Tuh kan, melamun lagi?!" Sebuah suara halus dengan sedikit keras membuat Airin seketika menoleh ke arah pintu kamar, kini dilihatnya seorang wanita yang hampir seumuran dirinya itu tengah tersenyum.
"Ah Ratna, cepet masuk!" Airin menyuruh wanita cantik itu tanpa membalas senyum.
Ratna memang teman yang paling dekat dengan Airin sejak dirinya menempati salah satu kamar di losmen merah, hanya saja Ratna telah lebih dulu beberapa bulan menempati kamar sebelah Airin. Ratna berasal dari pelosok kota Sukabumi, meski galak, tapi wajahnya begitu jelita, hingga tidak heran membuat dirinya dijadikan salah satu anak emas Momi.
"Siapa sih yang membuat temenku yang cantik dan energik ini berubah jadi sering melamun?" Ratna tertawa kecil sambil mendekat, matanya jentik menggoda dengan tatapan nakal.
"Apaan sih?!" Airin segera membuang muka, lalu dengan cepat meletakan sebatang rokok mild di bibir, sedang tangan lainnya dengan cepat mematik api dari pematik. lalu Airin monyong, mulai menghembuskan asap lembut, membentuk huruf 'o' dari bibir sensualnya.
"Kenalin dong.." Ratna malah makin menggoda, menganggap Airin panik.
"Denger Airin! Momi nggak suka dengan pelayananmu yang terus memburuk," Ratna meneruskan bicara tanpa jeda, lalu merebut rokok yang baru dihisap Airin. Airin melotot.
"Demi kebaikannya dan dirimu sendiri, kamu harus kembali bekerja dengan baik, atau.." Seketika nada bicara Ratna serius, dengan selingan hembusan asap rokok.
"Atau ?!" Airin kembali merebut rokok dari mulut Ratna.
Bila mencinta kepada orang yang salah adalah suatu dosa, maka tiada seorang pun yang luput dari terpaannya. Karena dosa bagai putik bunga dendalion yang lembut, ringan tersapu angin, menyebar kesegala penjuru arah angin, kadang mengenai topi lusuh para pengemis, mengenai peci bersihnya ulama, kerap menempeli jas kehormatan seorang pejabat tinggi negara, atau rompi anti peluru seorang prajurit, sering pula menyesaki cerita dusta para penulis, hingga memenuhi mulut indah rayu-rayuan indah para penjual.
Tapi, benarkah mencintai seperti itu? dimana debarannya menjadi petaka, menampar-nampar logika para cerdik pandai, membuai angan para tawanan, hingga merubah idealitas para pejuang?
"Mencintai bagi kita itu petaka!" Kata-kata Momi, terus bergema dalam kepala Airin. Membuatnya menggeleng sendiri, karena nalarnya sendiri tidak bisa mematikan perasaan yang mulai terasa, mulai tumbuh tanpa terduga. Anggapannya terpatahkan sendiri, jika cinta telah mati sejak seorang lelaki bejat itu merenggut keperawanannya dengan paksa, hingga membuatnya begitu takut dan malu untuk pulang.
Pikiran Airin mengawang kian kemari, sedang kedua matanya layu memandangi jalan raya di balik daun jendela yang memperlihatkan derasnya hujan senja.
Hujan memang kian menderas mengguyur kota. Dalam riuhnya gempuran air dari langit, Airin sejenak merasa tenang, yang tanpa suara manusia, tanpa bising deru mesin pengguna jalan raya yang biasa terdengar di sebarang kamarnya sebelum malam larut. Hati Airin teralihkan oleh decak tetes-tetes air hujan ini, namun suasana hujan disaat senja ini pun kembali mengingatkannya pada seorang pria berambut ikal, pria yang diam-diam telah mengisi angannya sejak minggu-minggu terakhir.
Tiba-tiba Airin merasakan rindu teramat sangat pada abahnya, pada wejangan-wejangan lembut yang kerap ia dengarkan selepas isya saat di kampung.
"Tapi, apakah abah dapat menerima keadaan dirinya saat ini? setelah sekian lama anaknya kabur dari rumah penuh murka? ah abah, pasti tidak mengerti mengapa anaknya sangat murka saat itu," Airin merasakan pedihnya penyesalan. Penyesalan yang akhirnya terasa begitu menyayat sejak Ardhi datang dan menghilangkan segala nikmatnya pelarian di losmen yang kini ditempatinya.
"Tuh kan, melamun lagi?!" Sebuah suara halus dengan sedikit keras membuat Airin seketika menoleh ke arah pintu kamar, kini dilihatnya seorang wanita yang hampir seumuran dirinya itu tengah tersenyum.
"Ah Ratna, cepet masuk!" Airin menyuruh wanita cantik itu tanpa membalas senyum.
Ratna memang teman yang paling dekat dengan Airin sejak dirinya menempati salah satu kamar di losmen merah, hanya saja Ratna telah lebih dulu beberapa bulan menempati kamar sebelah Airin. Ratna berasal dari pelosok kota Sukabumi, meski galak, tapi wajahnya begitu jelita, hingga tidak heran membuat dirinya dijadikan salah satu anak emas Momi.
"Siapa sih yang membuat temenku yang cantik dan energik ini berubah jadi sering melamun?" Ratna tertawa kecil sambil mendekat, matanya jentik menggoda dengan tatapan nakal.
"Apaan sih?!" Airin segera membuang muka, lalu dengan cepat meletakan sebatang rokok mild di bibir, sedang tangan lainnya dengan cepat mematik api dari pematik. lalu Airin monyong, mulai menghembuskan asap lembut, membentuk huruf 'o' dari bibir sensualnya.
"Kenalin dong.." Ratna malah makin menggoda, menganggap Airin panik.
"Denger Airin! Momi nggak suka dengan pelayananmu yang terus memburuk," Ratna meneruskan bicara tanpa jeda, lalu merebut rokok yang baru dihisap Airin. Airin melotot.
"Demi kebaikannya dan dirimu sendiri, kamu harus kembali bekerja dengan baik, atau.." Seketika nada bicara Ratna serius, dengan selingan hembusan asap rokok.
"Atau ?!" Airin kembali merebut rokok dari mulut Ratna.
"Kau dan lelaki itu akan menanggung akibatnya," Dengan tersenyum Ratna menatap tajam langsung ke wajah Airin.
"Dia hanya lelaki pengecut yang kesasar ketempat ini, tidak lebih! nggak ada hubungan sama sekali!" Seketika emosi Airin terpancing, saat terpikir lelaki yang dikenalnya sebagai Ardhi harus ikut menaggung akibat pahit dari kinerjanya yang memang diakuinya sendiri memburuk sejak mingu-minggu terakhir. Airin menyadari kini, bahwa tidak ada teman yang benar-benar baik ditempatnya bekerja. Semuanya bisa menjadi mata dan telinga untuk majikannya, selain cctv yang terpasang hampir diseluruh koridor kamar penginapan.
"Lalu dia berkata apa hingga merubahmu semurung ini?" Mata Ratna membesar, kaget dengan sikap Airin yang meledak tiba-tiba. Kini wajah Ratna terus mendekat ke wajah Airin.
"Kematian," Airin menjawab singkat dengan menghembuskan asap ke wajah Ratna, membuat wajah jelita dihadapan Airin sedikit tersentak.
"Dengan menggapku teman, lelaki itu mengatakan akan pastinya kematian," Airin kembali meneruskan, setelah wajah Ratna sedikit mundur.
Lalu kedua gadis itu terdiam, larut dengan pikirannya masing-masing, memberi suara gemuruh hujan diluar losmen untuk menempati seluruh ruang pendengaran Ratna dan Airin.
#kerlip-kerlip harapan
ar, 9sept2017
"Dia hanya lelaki pengecut yang kesasar ketempat ini, tidak lebih! nggak ada hubungan sama sekali!" Seketika emosi Airin terpancing, saat terpikir lelaki yang dikenalnya sebagai Ardhi harus ikut menaggung akibat pahit dari kinerjanya yang memang diakuinya sendiri memburuk sejak mingu-minggu terakhir. Airin menyadari kini, bahwa tidak ada teman yang benar-benar baik ditempatnya bekerja. Semuanya bisa menjadi mata dan telinga untuk majikannya, selain cctv yang terpasang hampir diseluruh koridor kamar penginapan.
"Lalu dia berkata apa hingga merubahmu semurung ini?" Mata Ratna membesar, kaget dengan sikap Airin yang meledak tiba-tiba. Kini wajah Ratna terus mendekat ke wajah Airin.
"Kematian," Airin menjawab singkat dengan menghembuskan asap ke wajah Ratna, membuat wajah jelita dihadapan Airin sedikit tersentak.
"Dengan menggapku teman, lelaki itu mengatakan akan pastinya kematian," Airin kembali meneruskan, setelah wajah Ratna sedikit mundur.
Lalu kedua gadis itu terdiam, larut dengan pikirannya masing-masing, memberi suara gemuruh hujan diluar losmen untuk menempati seluruh ruang pendengaran Ratna dan Airin.
#kerlip-kerlip harapan
ar, 9sept2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar