4. Orang Gila
Aldi hanya dapat menarik napas panjang, ketika merasakan
sikap istrinya yang menjadi lebih dingin akhir-akhir ini. Pagi ini, Fatimah
tidak banyak berkata-kata setelah menyiapkan secangkir kopi untuknya. Tapi Aldi
berusaha tidak peduli, lalu dengan segera membenamkan diri ketengah kebun
–memulai membersihkan anak rumput yang mulai banyak tumbuh di berbagai
tempat—berusaha mendiamkan hatinya yang terasa perih. “Oh Fatimah, bagaimana
Abang menjelaskan semuanya padamu?” Batinnya berbisik sendiri, seraya memadangi
istrinya yang kini memunggunginya dan berlalu, hingga menghilang di balik pintu
dapur. Sekarang Aldi mulai berkonsentrasi dengan semua tunas-tunas cabe
asuhannya, dengan kembang kempis dadanya, bergemuruh sendiri.
Hingga pagi terus beranjak, sinar mentari tidak juga muncul
menerangi bumi. Kawanan awan merapat dan buram, terus saja menadahi menadahi
sinar mentari untuknya sendiri, tanpa menyisakan celah untuk kehidupan
dibawahnya –yang tetap menggigil, dalam sisa sunyi udara semalam--. Tapi belum
lama Aldi mendongak kelangit, kedua telinganya kini mendengar suara teriakan
istrinya, yang memanggilnya untuk segera datang ke teras depan rumah. Aldi
sejenak bersyukur bahwa akhirnya kembali berkata-kata terhadapnya, meski tidak
pernah merasa nyaman dengan segala suara semacam itu. Naif, tapi biarlah.
“Waalaikum salam, oh Pak RT?” Aldi segera menyambut kedua
tangan yang telah terjulur, sejak lelaki itu mengucap salam kembali di muka
pintu.
“Mari masuk pak!”
“Oh nggak usah Pak Aldi, terima kasih, nggak lama kok,
sekedar memberi kabar penting,”
“Oh, kabar apa Pak?”
“Begini Pak Aldi, tau Rumah Sakit Jiwa yang berdiri di RW
sebelah kan?”
“Lho, memang kenapa dengan Rumah Sakit Jiwa itu Pak?”
“Begini Pak, saya dapat kabar dan himbauan dari mereka,
bahwa ada pasien mereka yang kabur subuh kemarin, nah! Jika saja Pak Aldi lihat
pasien dengan ciri-ciri sebagaimana foto ini, tolong! segera beritahukan pada
saya secepatnya, jangan bertindak sendiri! karena kata mereka pasien tersebut
sangat berbahaya” Dengan memandang nanar, lelaki renta itu menyodorkan secarik
foto kepada Aldi. Kedua lelaki itu terdiam sesaat, lalu Pak RT memecahkan
ketermenungan Aldi saat undur diri.
***
Sehari, dua hari, hingga hampir seminggu, Fatimah masih
terlihat enggan berbicara dengan suaminya. Namun Aldi tidak peduli sedikitpun, dan
merasa tidak mesti meminta maaf, karena dianggapnya wibawa selaku sebagai
kepala rumah tangga harus kukuh berdiri --kaya, mapun miskin--. Segera saja,
rumahnya yang dirasakannya lebih sebagai tempat pelarian dari realitas
lingkungan di kampungnya itu, tidak lain menjadi bak neraka.
Aldi kini hilang selera makan dan tidurnya di waktu malam.
Terjaga di sepanjnag malam, lalu teridur menjelang pagi, sedang otaknya terus
berputar kian cepat, bak gangsing yang tidak jelas pangkal dan ujungnya.
Kecuali mereguk kopi hitam dan dan menyesap tembakau, yang justru dirasakannya
kian berasa nikmat. Sejak Pak RT datang membawa kabar dari Rumah Sakit Jiwa,
bertambahlah beban pikirnya. Seraya mengepulkan asap tembakaunya ke angkasa,
Aldi terus saja memandangi wajah pasien Rumah Sakit Jiwa ditangannya itu, “foto
ini benar-benar telah mempengaruhi manusia sekampung’’ bisiknya, “tapi mengapa
terpengaruh?” otak Aldi terus menderu.
Aldi pikir, Pak RT memang telah sukses mempengaruhi masyarakat. Pemberitahuan beliau,
perihal pasien Rumah Sakit Jiwa yang kabur itu telah membuat masyarakat resah.
Ibu-ibu grup rumpi telah mengganti topik kesehariannya dengan berbagai
kemungkinan mengerikan jika orang gila itu ngamuk-ngamuk, hingga mewabah dengah
cepat di hampir seluruh desa. Kini para penduduk tidur lebih awal, jalan-jalan
kampung kian sepi. Sementara otaknya terus berpikir, mulut Aldi dengan tenang
mengepulkan kembali asap tembakau, dan kembali mereguk kopi hitam pahitnya.
“Ah ya! Ini memang bisa dijual!” Aldi meneriaki bathinnya
sendiri, seketika bakat alam seorang otak bisnis segera bergeletar, menuntutnya
lebih jauh. Apalagi diingatnya Fatimah telah lebih giat mencari orderan jahit,
selain kian mendiamkan dirinya. Meski Aldi seorang lelaki penyuka wanita
pendiam, tapi dirinya benar-benar tidak suka didiamkan. Tiba-tiba, rasa
kekalahan kembali menguasai, kembali mendera bathin seorang ayah dengan tiga
anak itu, membuatnya merutuki dirinya sendiri. “Laki-laki tidak boleh kalah
oleh perempuan!” Batinnya meronta. Lalu kian kecut, saat kopi yang direguknya
sebatas ampas, hingga dengan kesal ia menyesap terlalu dalam selinting tembakau
tembakaunya, hingga batuk-batuk.
“HAHA! Barangkali, sekarang ini memang ada orang gila bisa berpikir..”
Sebuah suara ringkih tiba-tiba memecah kesunyian, membuat
Aldi terlonjak dari duduknya, ketika dilihatnya seorang lelaki tambun telah
dekat dihadapannya dengan tergelak. Pandangannya tajam, pakaiannya lusuh, tapi
Aldi tidak menyadari semua itu. Emosinya telah mengambil alih lebih dulu, demi
mendengar sebuah bahasa yang dirasakan hanya sebuah ejekan terhadapnya. “Apa
maksudmu?!” Aldi membentak marah. Amarah telah membuatnya lupa, bahwa lelaki
dihadapannya itu bukanlah salah satu penduduk tempatnya tinggal. Lelaki itu
begitu kumal, tertawa seperti orang gila, membiarkan ramputnya tidak tersisir
sebagaimanamestinya.
“Hehe anda begitu pemarah, maaf, maaf, HAHA!” Lelaki itu
tidak menghiraukan ketersinggungan Aldi. Tapi ia tidak berhenti disitu, lalu
dengan langkah perlahan, ia makin mendekat, berbisik langsung ke wajah Aldi
seraya melotot, “Anda gila, menyesap asap yang membuat batuk, semakin batuk,
semakin anda hisap.. bukankah, itu perbuatan gila?”
#panggilangila
Ar, 14 Okt. 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar